Bab 19

6.4K 304 33
                                    

Aku mengutarakan keinginanku untuk membuka bisnis kuliner, kepada Talita. Jawabannya sungguh di luar dugaanku.

"Bisnis yang ini aja, kamu udah mau koit, mau buka bisnis kuliner. Udah gak usah macem-macem Mas."

Huh. Salahku juga minta pendapat Talita. Dia tau apa tentang bisnis. Apalagi kuliner. Dia kan hanya tau menghabiskan uangku.

Seminggu kemudian, ibuku datang ke rumah kami. Dengan koper besar, plus muka cemberut. Akhir-akhir ini, semua orang hobi sekali membebaniku dengan uang nafkah.

Tidak taukah mereka, aku sudah tidak seperti dulu. Uangku habis, demi membiayai gaya mereka. Ibuku ini juga. Usia sudah uzur, bukannya berhijab dan berusaha hidup baik, ini malah berpakaian seperti artis-artis korea.

Dengan rok payung mini, dan blous ketat. Tubuhnya yang keriput sana sini, sungguh sangat tidak enak di pandang mata.

"Ibu mau tinggal bareng kamu Surya Anggara. Jangan jadi anak durhaka. Kau pikir, uang dua juta sebulan cukup untuk Ibu? Ibu tinggal di sini, kamu kasih makan Ibu, tapi uang Ibu tetap harus utuh. Denger gak?"

Aku terkesiap. Menatap wanita yang aku cintai ini, dengan intens. Bukan karena perkataannya. Tapi, karena dandanan beliau. Riasan di wajahnya, yang agak menor. Dan bando warna warni yang di ikat di atas kepala. Ya Allah. Apa yang terjadi dengan ibuku?

Aku menggeret koper beliau. Masuk kamar tamu. Menyalami dan mencium tangannya. Aku bawa duduk di ranjang.

"Ibu kenapa Bu? Kok dandanannya begini sih?" aku bertanya dengan suara selembut mungkin. Supaya beliau tidak tersinggung.

"Ibu ini Pinkers Surya. Kamu tau gak? Itu yang lagi ngetren. Girl band Korea, yang dateng konser beberapa bulan lalu. Ibu ngefans banget sama Lisa Blackpink. Pengen deh cantik kek dia. Kamu sih, gak ngirimin uang kek dulu. Kamu kenapa? Bokek?" beliau santai menggoyang-goyangkan kaki, maju mundur, sambil memainkan kuku, yang dicat warna pink menyala.

Aku mengusap wajahku. Apa ibi kena gangguan jiwa. Bisa-bisanya berubah drastis begini. Sari. Aku akan telepon dia.

Belum sempat aku mengambil ponsel di saku, benda pipih itu lebih dulu bergetar.

Kontak dengan nama, Sari muncul di layar. Panjang umur nih anak.

"Mas. Ibu ilang Mas. Dari kemaren gak ada. Koper gede punya aku juga gak ada. Baju-baju Mira pada hilang semua. Baju Ibu ada di lemarinya ini. Duh. Aku mau lapor polisi, tapi bilang dulu ke Mas,"

"Gak usah lapor Dek. Ibu ada sama Mas ini. Ada sama koper juga. Kok kamu bilang, baju Mira hilang?"

Sambil bertanya, aku beranjak ke koper ibu. Menjepit ponsel dengan telinga dan bahu, lalu membuka koper.

Yang benar saja ibu. Ini memang semua bajunya Mira. Keponakanku yang berusia tujuh belas tahun. Anak bungsunya Sari.

Ibuku hanya tersenyum manis ke arahku. Mengerjap-ngerjapkan matanya. Bukannya terlihat imut, ibu malah terlihat nyeremin, di mataku.

"Ok Dek. Mas tutup yah. Nanti tolong kamu packing baju Ibu, terua kirim ke sini. Mas akan kirim, baju Mira ke sana. Emang Ibu yang bawa baju Mira di koper kamu,"

"Mas, kamu rasa ada yang aneh gak sama Ibu? Jangan-jangan, Ibu sakit lagi. Aku gak kebayang deh. Kalo Mas ada waktu, bawa Ibu periksa ke dokter yah Mas?"

"Ia Dek. Nanti Mas urus. Mas emang agak ganjil liat Ibu ini," kutatap wanita yang sudah berusia senja ini. Kalau sampai ibu sakit, bagaimana? Aku akan periksa ibu dulu, untuk memastikan, baru bawa kembali ke rumah Sari.

Aku mengakhiri panggilan. Lalu mendekati ibu.

"Ibu mau istirahat, atau, mau makan dulu?" tanyaku.

" Ibu mau makan aja. Anaya masak apa Nak?"

Tolong Maafkan AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang