Bab 20

7.3K 313 31
                                    

Aku pulang ke rumah dengan hati yang amat sangat kecewa. Dan selama satu minggu ini, aku uring-uringan. Tidak ada satupun pekerjaanku yang beres. Proyek aku minta ditangani Jonathan dan Joshua.

Aku membawa ibu ke rumah sakit. Setelah tau ibu menderita alzaimer, aku memulangkan beliau ke rumah tua kami, Sari yang akan menjaga ibu.

Bagaimana bisa ibu tinggal denganku? Talita tidak pernah ikhlas dengan ibuku. Aku maklumi sikap Talita. Dia tidak ikhlas melayani ibu, karena ibu selalu memanggil dia, Anaya.

Sering ibu membentak Talita, seperti dulu membentak Anaya. Masakan kurang garam lah, kurang manis lah, kurang bumbu lah.

Rumah belom bersih ini. Sapu lagi, pel lagi. Pakaian kurang harum ini. Kusut lagi. Tau strikaan gak? Anaya ...

Talita yang terbiasa kumanja, yang tidak terbiasa dibentak. Mau bangun jam berapa pun, aku biarkan. Kadang sarapan di kantor. Makan siang di restoran, makan malam, pesan online.

Dan setelah kami pindah, dia mulai masak, mulai bisa cuci dan setrika pakaian sendiri. Belanja pun dibatasi.

Demi melihat perlakuan ibu pada Talita, aku kembali mengingat Anaya. Dulu ... Dia hanya dijatah uang 400ribu.

Dengan dua orang anak, ditambah ibu, Anaya mampu bertahan hidup denganku, selama 12tahun. Jika bukan karena paksaan Talita, aku juga tidak akan menceraikan Anaya. Anaya sendiri pun, tidak keberatan jika aku beristri dua.

Dia hanya tersenyum saat dimarahi ibu. Malah tiap malam, saat aku pulang dari rumah Talita, aku dapati mereka berdua sedang berbincang di depan tv.

Membahas gosip malam, yang mereka tonton. Kaki ibu ada di pangkuan Anaya. Dan tangan Anaya yang lincah memijit kaki beliau. Di depan mereka ada kue keju, dan kopi.

Meskipun ibu selalu memprotes masakan Anaya, tapi tidak pernah kudapati wajahnya cemberut kepada ibu. Dia akan tersenyum, dan memeluk ibu. Mencium pipinya. Dan akhirnya, mereka berdamai.

Ibu selalu seperti itu. Mungkin, marahnya hanya kedok, karena ingin dipeluk dan dicium Anaya. Karena jika sudah dipeluk, ibu akan tersenyum, dan mencubit pipi Anaya, dengan wajah garang.

Seringkali ibu marah, karena meminta bermain dengan Aluna dan Anatasya, yang memang, bayangannya saja tidak pernah ada di sini. Ibu akan berteriak pada Talita. Menanyakan di mana Luna dan Acha?

Talita akan balik membentak ibu, jika ibu membentak. Talita akan berteriak, jika ibu berteriak. Talita akan merajuk dan cemberut, jika diprotes.

Tidak ada kedamaian. Dari pagi sampai malam. Mereka bertengkar. Tanpa segan, Talita akan mendorong ibu, memarahi bahkan mengusirnya.

Jika mengingat kembali masa lalu bersama Anaya, rasa-rasanya, isi di dalam batok kepalaku ini, ingin kukeluarkan saja.

Otak bodoh ini, yang tidak mampu melihat kenyataan, yang tidak mampu merasai sayang dan cinta. Otak bodoh ini, yang hanya mengarahkan mata, melihat beling berselimut tepung yang di beri toping manis.

Saat dimasukan ke mulut, beling itu akan melukai. Beling itu, aku kunyah selama puluhan tahun. Tanpa sadar. Bukan hanya melukai mulutku, tapi beling itu sudah merobek kerongkongan, mencabik tenggorokan, mengiris jantung, lambung dan hatiku.

Aku melihat sisi Anaya dari kelebihan Talita. Aku menilai kecantikan Anaya, dari mulusnya wajah dan keanggunan Talita. Aku mencampakkan Anaya, karena, keberadaan Talita.

Aku salah. Anaya punya kelebihan yang tidak dimiliki Talita. Apa yang dimiliki Talita, tidak ada pada Anaya. Mereka tidak salah. Akulah. Hatikulah. Cintaku. Perasaanku. Penilaiankulah. Aku yang bersalah. Karena tidak memiliki rasa syukur, untuk apa yang aku miliki.

Tolong Maafkan AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang