Bab 31

5.3K 275 1
                                    

Dua minggu sudah aku dan Melisa di rumah ibu. Tak sekalipun Talita menanyakan kabar kami. Padahal, sebelum aku pergi, aku bilang, hanya seminggu keluar kota.

Dengan motor matic milik Sari, aku meluncur ke rumahku. Ingin sekali tau keadaan rumah.

Motor aku parkirkan di samping rumah Pak RT. Lalu berjalan kaki ke rumah. Sunyi. Sepi dan berdebu. Rumah ini seperti tidak berpenghuni.

Kulkas kosong, ada beberapa sterofoam di tempat sampah. Dan dapur yang berantakan.

Talita tidak ada di kamarnya. Hanya ada pakaian kotornya yang menumpuk di sudut kamar mandi.

Aku menjulurkan leher, melihat sebuah mobil mewah warna hitam, yang terparkir sempurna di rumah kontrakan mertua.

Dengan pelan aku berjalan ke sana. Dari depan saja, sudah terdengar gelak tawa dan cekikan khas Talita.

Aku mengintip ke dalam rumah. Ada gorden putih yang menutup jendela. Tap aku bisa dengan jelas melihat isi ruang tamu kecil yang berpadu langsung dengan ruang keluarga.

Dua orang berlainan jenis itu, sedang bercanda mesra. Sambil cubit-cubitan, dan elus-elusan. Darahku naik. Aku benar-benar marah. Saat wajah mereka menyatu di depan mataku.

Ponsel aku rogoh dari balik saku jas. Dengan cepat mengambil gambar dan video singkat.

Setelah itu, aku membuka pintu rumah. Kebetulan yang sangat baik. Pintu tidak terkunci. Mungkin karena kaget, mereka berdua sampai melompat dari sofa.

Terburu-buru, tangan Talita, merapikan baju dan rambutnya yang sedikit berantakan. Aku menyeringai melihat mereka.

Dua manusia, yang tidak punya hati dan otak itu, tampak hanya terkejut sekilas saja. Setelahnya, wajah mereka biasa-biasa saja. Bahkan sudut bibir Talita terangkat, membentuk senyum tipis.

"Baguslah kamu ke sini Mas. Aku gak perlu repot-repot, mencari kamu untuk menjelaskan segalanya."

Kemarahanku sudah di ujung batas. Tanpa berpikir panjang, aku layangkan tamparan keras ke wajah wanita yang sudah memberiku tiga anak ini.

Sudut bibirnya mengeluarkan cairan merah. Dan tubuhnya oleng ke kiri. Laki-laki itu, berdiri mendekat dengan wajah gusar. Lalu menarik Talita berlindung di balik punggungnya.

"Hanya banci yang memukul wanita. Apalagi dia masih istrimu. Pantas saja, keadaanmu seperti ini. Gagal dalam segala hal."

Apa dia bilang? Gagal? Yah aku memang gagal. Lalu dia disebut apa? Pebinor?

Aku tertawa. "Kau sedang mengatai diriku, atau sedang mendefinisikan siapa dirimu? Jika kau mendapati aku ada di rumahmu, dengan istrimu, lalu sedang bercumbu mesra dengannya, apakah kau akan membuka pintu rumah, lalu berjalan kearahnya dengan santai, kemudian membelai rambutnya dengan sayang, dan berkata. Teruskan Sayang. Bila perlu, bercintalah di hadapanku, dengan lelaki ini! Begitu? Atau kau akan memperlakukan istrimu seperti aku tadi? Jika tidak, maka kau perlu memeriksakan jiwamu ke psikiater. Mungkin kau dalam fase menjadi orang gila."

Murka dan amarah sangat jelas terpampang di wajahnya.

"Pantas saja Talita jatuh dalam pelukkanku. Kau adalah suami yang tidak becus. Istrimu kelaparan dengan keluarganya, dan kau keluyuran entah ke mana."

"Hooh. Jadi, kau tau kondisi rumah tanggaku. Apa kau mau jadi donatur untuk wanita murahan di belakangmu itu?"

"Mas...!" Talita berteriak dengan kencang. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

"Sebutan apa yang pantas untuk wanita sepertimu? Pelakor? Lont*? Pelacu*? Atau kupu-kupu malam? Ah ini masih siang. Mungkin kupu-kupu siang, lebih bagus. Kau tinggal pilih, sebutan mana yang pantas untukmu."

Tolong Maafkan AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang