Bab 25

6.6K 303 6
                                    

Tolong Maafkan Ayah 25

Tanah merah bertabur bunga, dan sinar mentari senja yang menyirami seluruh tanah pemakaman, angin semilir yang mulai dingin, dan isak tangis yang tak kunjung selesai. 

Aku duduk bersimpuh di samping nisan, bertuliskan nama anakku. Dia sudah pergi. Jauh. Sejauh harapanku untuknya. Wajahnya yang tampan, masih membayang di pelupuk mataku. 

Sinar mata yang redup, saat terakhir kali aku bicara dengannya di ruang tamu tadi pagi, masih segar di ingatanku. Aku tidak peka dengan kesendiriannya. Aku tidak pernah menemani sepinya.

Aku hanya peduli dengan egoku. Aku hanya berfokus pada masalahku. Tanpa tau, anakku membutuhkan aku. 

Di hadapanku, Melisa duduk sambil meremas-remas bunga yang bertaburan di atas makam. Matanya bengkak. Tatapan matanya kosong. Aku menggenggam tangannya. 

"Ayo pulang Sayang. Bentar lagi maghrib,"

TPU sudah kosong. Tinggal kami berdua saja. Entah siapa yang akan mengobati siapa. Kami sama-sama terluka. 

Melisa duduk di balik kemudi. "Biar aku yang nyetir. Jaraknya lumayan jauh Pa. Papa istirahat saja."

Aku mengangguk. Badanku serasa di tusuk ribuan jarum. Perih, sampai ke tulang, jika kulit tubuhku, merasakan hembusan angin. 

Sambil bersandar, kupejamkan mataku. Melisa menyetel radio. Dia masih saja hobi mendengar siaran radio. 

Acara yang bertajuk curhatan itu, menemani sepi di dalam mobil. Sampai, si pembawa acara menyetel lagu pilihan pendengar. 

🎼 There goes my heart beating

'Cause you are the reason

I'm losing my sleep

Please come back now

And there goes my mind racing

And you are the reason

That I'm still breathing

I'm hopeless now

I'd climb every mountain

And swim every ocean

Just to be with you

And fix what I've broken

Oh, 'cause I need you to see

That you are the reason.🎼

Semakin tangan ini erat memeluk dada. Sambil memiringkan tubuh ke pintu mobil. Menikmati lagu yang bersenandung pelan, semakin menyakiti hatiku. Sesaat kupejamkan mata, lalu, tertidur. 

"Pa. Aku minta maaf. Aku gak kuat lagi. Nahan semua sendiri. Aku capek Pa. Aku mau istirahat. Tanpa di ganggu dengan timpangnya perhatian dan kasih sayang Mama. Tanpa menuntut sesuatu yang terus membuat Papa tertekan. Aku pergi Pa. Maafkan aku." 

"Radit!" Teriakku kencang. Tanganku ingin sekali menggapai tubuhnya, tapi dia sudah hilang ditelan kabut putih. 

"Papa. Papa gak apa-apa. Kita udah sampai Pa. Aku siapin makanan buat Papa yah," Melisa mengusap, bahuku pelan. 

Aku cuma bermimpi. Radit. Air mataku jatuh lagi. Terseok langkah kaki ini masuk ke dalam rumah. Melisa sudah lebih dulu ke kamarnya. 

Kunyalakan shower. Membiarkan air dingin, jatuh membasahi kepalaku. Tubuhku menggigil. Kubiarkan saja. Anakku juga menggigil di sana. Dia sendiri. 

Kudengar pintu kamar dibuka dari luar. Berderit, lalu ditutup lagi. Aku mengeringkan tubuh, lalu memakai celana boxer. Keluar dari kamar mandi, aku melihat Talita duduk di tepi ranjang. 

Tolong Maafkan AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang