Perfect Timing

9.9K 980 39
                                    

"Menurut lo... Gara itu gimana?"

"Gara?"

"Hm, Anggara, abang lo."

Aku mengernyit menatap ekspresi wajah Zarifa. Gadis itu sedikit lemot dalam berpikir. Jadi, aku harus banyak-banyak sabar kalau meminta pendapat padanya.

"Ganteng pol."

Decakan kesal keluar dari bibirku begitu saja. Aku melempar bantal sofa ke wajah Zarifa dan gadis itu menjerit tak terima.

"Kan bener! Abang gue ganteng pol!"

"Bukan itu, bege. Sifatnya. Gue naksir abang lo, btw."

"Dih, anjing. Jangan. Dia playboy cap kodok."

"Masa sih?"

Zarifa tampak syok dengan ucapannya sendiri, lalu gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangannya sambil memukul pelan di sana. Aku memicing padanya dengan posisi tubuh yang aku condongkan ke arahnya.

Dia mendorong keningku dan memperbaiki posisi duduknya. Dia menarik napas panjang sebelum memperbaiki posisi duduknya. Sebelah tangannya mengodeku untuk mendekat dan aku menurutinya begitu saja.

"Kemarin malam gue dengar Papa ngebentak abang gue karena ada yang minta tanggung jawab ke rumah."

Aku mengernyit tak paham. "Bokap lo hamilin anak orang?"

Zarifa menjitak kepalaku dan aku memelotot padanya. "Bukan, bege. Abang gue. Lemot lo ah," kesalnya sambil beranjak dari duduknya dan berlalu begitu saja menuju dapur.

"Heh, ceritanya jangan setengah-setengah anjing. Sini lo."

Zarifa tidak mendengarkan keluhanku. Dia tetap saja berlalu dan aku mulai mencerna perkataannya. Anggara menghamili seorang gadis? Lalu, gadis itu datang ke rumahnya minta tanggung jawab ke ayahnya. Kenapa tidak ke abangnya si lemot itu?

Tahu deh. Aku ikutan lemot gara-gara berteman dengan Zarifa si lemot.

"Jus gue!" pekikku saat melihat Zarifa yang baru saja kembali dari dapur dengan mulut yang sibuk meminum jus tomat kesukaannku.

"Mwaswih adwa swegwelwas lwagwi," ucapnya sambil menunjuk ke arah dapur.

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Semakin lama dia menginap di apartemenku, aku rasa kerugianku juga akan semakin besar. Gadis itu pemakan segalanya. Aku heran kenapa tubuhnya tetap saja kecil seperti itu. Bahkan perutnya tidak ada tumpukan lemak sama sekali. Berbeda denganku yang sekali tarik napas saja bisa naik 2 kilo. Sialan.

"Jelasin soal tadi. Lo bikin gue bingung."

Zarifa mengangguk pelan setelah menghabiskan setengah gelas jus dan meletakkan gelas di tangannya ke atas meja di depan kami. Dia menatapku dan mencebikkan bibir.

"Jadi, abang gue kan ada job di Bali waktu itu. Nah, dia ketemu sama ini cewek di kelab. Ngewelah mereka. Abang gue balik Jakarta, kerja kayak biasa. Tiba-tiba ini cewek nyari abang gue ke sini. Minta tanggung jawab karena dia bunting. Pas banget yang di rumah waktu itu Papa. Ya, ketemunya sama Papa. Dia jelasin tuh kronologinya. Papa marah dong. Gitu."

Aku mengangguk paham. Masa sih Anggara begitu? Bukannya dia terlihat polos dan seperti anak baik-baik? Aku baru tahu kalau dia juga suka tidur dengan orang asing yang bahkan dia tidak tahu asal usulnya. Hadeh... berkurang satu calon suami impianku untuk masa depan.

"Sayang banget. Padahal gue naksir parah," keluhku dengan lemas.

Zarifa terkekeh geli. "Sama Papa aja. Jadi mak tiri gue."

"Ogah anjing. Bokap lo tua."

"Dih, setan. Tua-tua gitu pesonanya gak main-main ya, jablay."

Aku tertawa. Benar juga. Ayah Zarifa masih saja tampan dan memesona meskipun usianya udah kepala lima. Sial.

***

Aku menatap lama pada foto profil Anggara. Rasanya masih tidak percaya kalau dia akan seliar itu dalam bergaul. Mungkin kalau hanya berganti pasangan, aku masih bisa memaklumi. Tapi kalau sudah berganti teman tidur, aku jadi berpikir berulang kali untuk tetap mempertahankan perasaanku.

Untuk kesekian kalinya aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Entah kenapa rasanya sesak sekali membayangkan Anggara akan menikahi gadis itu. Sejak dulu aku selalu membayangkan kalau gadis beruntung yang akan menjadi pasangan Anggara adalah diriku sendiri.

"Yang sabar ya, Siya. Lo pantes kok dapetin yang lebih baik dari dia. Cewek baik-baik nan polos kayak lo harus dapat cowok baik-baik juga."

Seperti biasa. Aku selalu mensugestikan diri untuk selalu berpikir positif. Jika memang menginginkan sesuatu, tetapi takdir berkata sebaliknya, maka aku akan menganggap itu salah satu cara Tuhan melindungiku.

"Tapi tetap aja sakit hati banget ini!" pekikku kesal sambil memukul guling berulang kali.

Ingin menangis, tapi rasanya terlalu berlebihan. Mengingat aku dan Anggara juga tidak punya hubungan apa-apa sebelumnya. Hanya perasaan sepihak. Sialan.

"Beb, lo mau nitip gak? Gue mau ke minimarket bawah."

Aku menoleh pada Zarifa yang baru saja membuka pintu kamarku dan menyembulkan kepalanya. "Beli apa lo?"

"Stok jajan lo habis."

Aku berdecak tak habis pikir dengan kelakuan Zarifa. Dia sudah satu minggu di sini dan tidak ada tanda-tanda akan pulang ke rumahnya.

"Beli yang banyak. Dua kali lipat."

"Okay. Siap, Mama!"

"Mama, Mama, pala lo!"

Zarifa tertawa kencang sambil menutup pintu. Aku hanya bisa menggerutu melihat kelakuan gadis itu. Bisa-bisanya aku bertahan berteman dengannya sampai belasan tahun. Entah dosa apa yang pernah aku lakukan di kehidupan sebelumnya.

Aku mencari kontak ayah Zarifa. Si duda tua yang anaknya tidak tahu malu menumpang di apartemen gadis miskin sepertiku. Lama aku memandangi ruang obrolan dengan ayah Zarifa. Mataku mengerjap saat status pria itu online.

Napasku tertahan saat pria itu mengetik pesan dan segera aku keluar dari ruang obrolan dengannya. Bisa-bisa dia curiga kalau pesannya langsung terbaca olehku.

Loh?

"ZARIFA SIALAN!"

Aku menatap tak percaya pada pesan yang dikirim oleh pria itu. Dia mengirimkan uang ke rekeningku dengan jumlah yang tidak sedikit. Astaga. Aku jadi malu tapi juga mau.

Satu panggilan masuk dari Zarifa dan aku segera menerimanya. Semua umpatan dan nama binatang siap meluncur dari mulutku tapi suara yang kudengar bukanlah milik gadis itu.

"Halo, Siya?"

"Papa jangan iseng ih!"

Aku bisa mendengar suara manja Zarifa di sebrang sana dan suara kekehan pria itu. Jadi, Zarifa sedang bersama ayahnya?

"Siya? Halo?"

"H—halo, Om?"

"Uangnya sudah masuk? Saya titip Rifa ya. Kalau dia nakal kamu bisa lapor langsung ke saya. Diajak pulang juga dia gak mau."

"Pa!"

Aku menggaruk pipiku yang tidak gatal sama sekali.

"Gak usah, Om. Aku kirim balik ya uangnya."

"Jangan!"

Itu suara Zarifa. Dia sepertinya sengaja menjual namaku untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Sialan. Awas saja dia. Aku jadi malu pada ayahnya. Padahal aku juga sering menginap di rumah mereka walaupun tidak selama Zarifa menginap di sini.

"Udah. Aku mau cepat naik. Papa jangan ganggu."

Panggilan terputus begitu saja dan aku mengehela napas panjang. Kembali aku tatap bukti pengiriman uang dari rekening ayah Zarifa ke rekeningku. Dapat 50 juta seminggu untuk menampung anak manja itu. Kalau sebulan sudah 200 juta. Bisa kaya mendadak kalau begini.

Tiba-tiba aku mengkhayalkan jadi ibu tiri Zarifa pasti sangatlah bahagia.

"AAAA GAK! JANGAN GILA LO, SIYA! DIA BAPAK TEMEN LO!"

***


Gaskeun aja sih kalo kata Mami🌚
Mayan, sugar daddy loh, Siya...🤭

Lagi?
500 vote yak!

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang