بسم الله الرحمن الرحيم
=======
Ting! Tong!
Bi Irah segera berlari menuju pintu utama saat terdengar suara bel berbunyi.
"Iya, sebentar." Teriaknya.
"Aduh ini pasti Non Fanya."
Klek!
Pintu terbuka.
"Lama banget, Biiii." Fanya menunjukkan wajah lesunya.
"Aduh, maaf ya Non tadi lagi di belakang."
"Hm. Ada siapa, Bi? Kok ada mobil di depan?" Fanya bertanya begitu karena saat turun dari mobil ia melihat ada sebuah mobil yang asing baginya. Ia menebak mungkin itu tamu papahnya.
"Itu, tamu dari pesantren, Non."
"Pesantren? Kak Bima?"
"Iya, sama... bapaknya gitu ya? Aduh, Bibi juga gak tau, Non."
Fanya mengangguk meski dirinya masih heran.
"Non Fanya tumben pulangnya telat?" Tanya Bi Irah.
"Tadi ban nya bocor. Jadi dibenerin dulu."
"Aduh.. Pak Herman teh kumaha atuh? Kok gak diperiksa dulu sebelum berangkat mobilnya." Ujar Bi Irah yang notabennya memang orang Sunda. (Gimana sih?)
"Udahlah, Bi. Fanya masuk dulu."
"Iya, Non."
Fanya menghentikan langkahnya saat ia melewati ruang tamu. Benar kata Bi Irah, ada Kak Bima dan seorang pria yang sudah tak lagi muda di sana. Bukan hanya mereka, bahkan seluruh keluarganya berkumpul di sana, Papah, Mamah, dan juga Kak Nadya.
"Fanya, kok baru pulang, Sayang?" Sila bangkit dan berjalan mendekati Fanya.
"Tadi ada problem di jalan." Jawab Fanya.
"Yaudah, kalo gitu kita ke atas dulu. Pak Kiyai, Nak Bima kami tinggal dulu." Izin Sila.
"Silahkan - silahkan." Jawab Pak Kiyai.
Bukan tanpa alasan Sila langsung membawa Fanya ke atas, pakaian yang Fanya gunakan sangat terbuka. Tidak sopan karena ada Kiyai Abdullah di sana.
"Kenapa sih, Mah?" Sila membawa Fanya ke kamarnya.
"Kamu langsung mandi terus ganti bajunya ya, Sayang. Pakai pakaian yang lebih tertutup karena ada Kiyai Abdullah di sana. Gak enak kalo kamu pakai pakaian seperti ini."
"Emang baju Fanya kenapa sih, Mah?" Fanya kesal.
"Sayang, aurat kamu kelihatan gini. Apalagi yang harus mamah jelaskan? Masih perlu penjelasan?"
"Ck! Iya-iya." Fanya masuk ke kamar mandi untuk melaksanakan apa yang Sila perintahkan.
Dua puluh menit kemudian, Fanya turun dengan busana muslim melekat ditubuhnya. Baju ini pemberian dari Sila tahun lalu. Namun, baru pertama kali ini lah Fanya menggunakannya. Gamis yang melekat pada tubuhnya terlihat sangat cantik dilihat, tapi karena tidak bisa memakai hijab Fanya hanya menyampirkan hijab pasmina yang memiliki warna senada dengan gamisnya itu pada bahunya saja.
"Halo, Om." Fanya hendak menyalami Kiyai Abdullah, tetapi Kiyai Abdullah membalasnya dengan menangkupkan kedua tangannya saja.
Fanya menarik kembali tangannya heran. Ia langsung saja duduk di sebelah Nadya seraya menyapa Bima. "Halo, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMU BERHARGA
Ficțiune adolescențiFanya, seorang siswi asal Jakarta yang terpaksa harus pindah ke Bandung karena masalah yang ia perbuat sendiri. Hidup barunya di Bandung diawali dengan buruk. Dipaksa menjadi orang lain bukanlah hal yang menyenangkan. Keberadaan dirinya serasa tak b...