3. Bisikan Setan

2K 225 113
                                    

....

Dibanding pantas dengan menyematkan gelar S.Ked di belakang namanya, Marsha lebih pantas menyandang gelar Sp.DDB.

Marsha Lenathea Soenarjo Sp.DDB (Spesialis Dorong Dorong Brankar).

Jangan salah, hampir dua tahun menyandang status sebagai Dokter Muda, Marsha ini sudah mahir sekali menyetir roda dengan terburu-buru tanpa drama menabrak orang, tiang bahkan mahir sekali memarkirkan Brankar ke dalam Lift tanpa baret sedikitpun.

Ia juga jadi lebih kurus karena sering berlari ke sana kemari, mengerumuni pasien dengan tim kelompoknya dan Dokter Residen, lalu jangan lupakan matanya harus jeli mencari pembuluh darah untuk diambil darahnya lalu ia kembali jalan-jalan mengitari rumah sakit untuk mencapai Patologi Klinik yang jauh sekali jaraknya.

Sekarang Marsha lapar.

"Mar!"

Mata Marsha mengerling, baru saja mulutnya terbuka untuk menikmati satu baso kecil utuh yang ia beli di tukang baso gerobak favoritnya, Marsha harus menunda dulu ketika Muthe, sahabatnya sejak pertama kali masuk kuliah itu berteriak melolong memanggil namanya.

Tak banyak teman semasa Preklinik Marsha yang melanjutkan Koas, mungkin satu angkatannya juga hanya sekitar 70% yang melanjutkan Koasnya, dan Muthe adalah salah satu manusia yang selalu ada dalam radar Marsha.

Mereka beberapa kali bertakdir dalam kelompok dan Stase yang sama. Paling favorit jika sudah bertemu Muthe di stase santai apalagi stase yang cukup menyenangkan seperti Psikiatri. Mereka tak perlu merasa bahwa dunia Koas adalah dunia yang menyeramkan, selain karena jadwal jaganya yang tidak terlalu berat, Marsha dan Muthe bisa berinteraksi dengan pasien-pasien gangguan jiwa.

Lalu stase terakhir ini, mereka malah terjun bersama di Stase Obgyn, stase neraka.

"Baso, Mas. Cincang sama telor enggak pake Bihun sama Mie, cuma baso aja." Muthe menghirup aroma kuah dari Baso yang begitu sangat menggoda perutnya yang baru saja selesai membuat laporan dan ikut operasi Partus subuh tadi.

Tepat pukul sembilan pagi, mereka berdua baru bisa menghirup napas segarnya luar rumah sakit.

"Dipikir-pikir sarapan pake Baso agak lain juga. Tapi Baso Mas Sigit emang enak sih, Mas!" Muthe duduk, melepaskan tas punggungnya yang entah berisi apa saja, lalu meletakkan tas kecil lain di atas meja.

"Anggep aja ini makan malam, kan kita pulang langsung cus bobo." Marsha mengambil Tissue, melepaskan cairan bening dari hidungnya, karena kepedasan.

"Gue punya tebak-tebakan, Mar." Muthe duduk di bangku di sebelah Marsha.

"Enak dipandang, tapi, enggak enak dipegang, apa hayooo."

"Apaan? Enggak tahu."

"Azizi Djatmiko."

Marsha berhenti mengunyah, menarik satu alisnya ke atas.

Tak banyak yang tahu bahwa Marsha sudah menikah. Sementara Muthe sendiri memang Marsha undang saat itu. Semenjak menikah pun, Marsha memang tidak aktif mengunggah foto kebersamaannya dengan Azizi di media sosial, ia bahkan mengalokasikan Medsos-nya untuk kebutuhan-kebutuhan Pendidikan alias Unggahannya ya seputar Kedokteran saja.

"Kenapa gitu?"

"Ya... gitu lah." Muthe mengucapkan terima kasiha terlebih dahulu kepada Mas Sigit, penjual Baso Favorit mereka. "Dipandang enak, karena ganteng, berkharisma, wangi pula, wanginya tipe cowok-cowok Karir gaji selangit gitu. Tapi, enggak enak dipegang, karena udah punya Bini, mana galak pula."

"Hih." Marsha memutar matanya dengan amat sangat malas.

"Aduh, adik Koas yang sempat naksir sama lo pasti nangis-nangis dipojokan kalau tahu Koas seniornya sudah mau anniv yang ketiga." Muthe kembali tertawa-tawa.

PENDULUM (BOOK III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang