8. Barbie

1.5K 219 157
                                    

...

Ketika matanya terbuka setelah tidur hampir semalaman penuh, yang Marsha rasakan sekarang adalah matanya panas dan perih, ini mungkin akibat menangis semalaman sebelum ia tidur. Marsha masih ingat Azizi menyusulnya ke kamar dan tertidur di sampingnya tanpa banyak bicara lagi, pria itu juga memilih untuk membelakangi Marsha, sedangkan Marsha—sudah membelakangi Azizi sebelum pria itu masuk.

Tak ada lagi pembicaraan yang mereka lakukan.

Marsha tahu bahwa Azizi lelah, atau lagi-lagi, mungkin, pria itu tak peduli tentang apa yang sekarang Marsha pikirkan.

Ketika bangun, bagian ranjang sebelah kiri sudah kosong, menyisakan dirinya yang kini pandangan mata Marsha mengedar mengelilingi seisi ruangan.

Ia temukan seikat bunga Lily of The Valley di atas nakas, sebuah Stetoskop baru dengan warna hitam dan merk yang sama seperti Stetoskop yang dicuri Dokter Jinan, serta sebuah paper bag kecil berwarna merah dan didalamnya terdapat kotak beludru dengan warna yang sama, Marsha temukan necklace.

'Happy 1000 days of being a wife, Sha.

I love u,

Z'

Begitulah kalimat yang bisa ia baca di dalam secarik kertas yang menempel di buket Lily of The Valley.

Marsha mengembuskan napasnya.

...

Sudah tiga puluh menit berlalu, tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Azizi maupun Ashel.

Azizi tak tahu harus ke mana ia pergi ketika semua menjadi tanda tanya dalam hidupnya. Maka jalan satu-satunya yang ia pilih adalah bertemu dengan Ashel.

Ashel diam, cukup lama. Ashel sudah sangat mengerti bahwa diam Azizi adalah untuk berpikir, jadi Ashel tak ingin untuk membuyarkan apa yang ada dalam isi kepala Azizi sekarang.

"Cukup sulit ngungkapin ini semua." Setelah terdiam cukup lama, barulah Azizi membuka suara. "Gue merasa sudah melakukan apapun untuk dia, tapi, ada sesuatu yang bikin dia—"

"Diapain lagi? Be good to her, meski kamu tahu, pernikahanmu cuma hasil dari perjodohan bisnis." Ashel menautkan jari-jarinya. "Seenggaknya bersikap baiklah di depan dia."

"Gue enggak pernah menganggap pernikahan ini sebagai pejodohan untuk tujuan bisnis, Ash."

Ashel hanya menyunggingkan senyumnya.

"If a woman cried, what should i do for her?"

"Marsha cried?"

Azizi terdiam lagi. Ia ingat perseteruannya dengan sang istri tadi malam, lalu tiba-tiba semuanya menjadi keruh, Marsha membanting pintu kamar agak cukup keras dan mematikan lampu. Setengah jam setelah mamdi, Azizi menyusul ke kamar dan gadisnya pura-pura tertidur dengan suhu badan yang agak tinggi dan beberapa bagian bantalnya yang basah oleh air mata.

"No." Azizi menggeleng.

"You are so bad at lying." Ashel mengembuskan napasnya. "Kenapa dia menangis?"

PENDULUM (BOOK III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang