13. Halaman Baru

1.7K 226 62
                                    

...

"Lo teriak-teriak mulu, lebay, Zi."

Azizi mengerlingkan matanya yang tajam pada sang kakak yang baru saja membukakan pintu kamarnya. Terganggu sudah acara meringis-ringis sendirinya, pagi hari ini.

"Makanya disuruh sunat dari bocah tuh nurut dikit sama bokap, kerasakan enggak ada enak-enaknya pasca sirkumsisi apalagi udah bangkotan kayak lo ini."

"Lo bisa diem enggak, Chika?" Azizi tatap kakaknya dengan datar.

Setelah dibujuk rayu oleh Marsha tiga hari yang lalu, besoknya Azizi mau menuruti apa mau istrinya. Marsha sudah mengatakan bahwa sirkumsisi hanya terasa seperti digigit semut.

Iya, digigit semut, tapi, rasanya yang mengigit ini adalah Semut Bulldog.

Rasanya panas sekali, sakit, apalagi jika pagi hari menjelang dan ia baru bangun tidur dan yang lainnya ikut bangun juga, rasanya ingin sekali Azizi menghancurkan alam semesta ini karena rasanya betulan sakit.

"Kalah lo sama Jeje, noh, ponakan lo sunat juga kemarin, pagi ini udah lari-larian ikut bapaknya ke Driving Range."

"Stop ngebanding-bandingin gue sama bocah ya Chika!"

"Malu-maluin soalnya lo, judulnya aja bagian dari Keluarga Dokter, masa enggak aware sama kesehatan sendiri. Berasa gagal aja gue, menimba ilmu bertahun-tahun, mengabdi sama Masyarakat, tapi, adek gue sendiri enggak ada perhatian-perhatiannya sama—"

"Chika..." Azizi memutar matanya malas.

Chika meletakkan segelas air dengan beberapa macam obat dan buah-buahan.

"Tapi, kenapa gue bisa separah ini ya, Chik? Maksud gue, Jeje juga udah bisa lari—"

"Karena lo udah tua." Kata Chika. "Bokap enggak salah-salah banget waktu dulu nyuruh lo sirkumsisi, dari segi penyembuhan juga bakal lebih cepet, secara metabolisme lo enggak bisa disamain sama bocah. Lo juga perokok, minum—"

"Good morning Azizi!" Seseorang memotong pidato panjang lebar Chika.

Azizi berharap yang muncul adalah istrinya yang sudah menghilang seharian penuh dari kemarin karena jadwal Ting-tong-nya di rumah sakit. Ekspektasinya hancur seketika, ketika yang datang barusan adalah Kathrina Irene. Perempuan berusia hampir 25 tahun itu tersenyum sumringah menatap Azizi, dengan tentengan dos Lego Technic Off-road Buggy di tangan kanannya.

Omong-omong, setelah melakukan operasi di Rumah Sakit, Azizi lagi-lagi akhirnya menuruti saran sang istri yang mengusulkan jika setelah tindakan, sebaiknya Azizi pulang ke rumah sang papa saja, dibanding bertahan di apartmen. Selain karena Marsha tak bisa menemaninya, di Rumah Papa setidaknya Azizi mempunyai teman mengobrol selama dirinya belum pulih. Alhasil, rencana tindakan sirkumsisi yang akan dirahasiakan dari keluarga, malah terbongkar sejadi-jadinya. Mau ditaruh di mana Azizi ini.

Kathrina tertawa. "Lucu banget lo, kayak santri pesantren, sarungan pagi-pagi."

"Bini gue mana?"

"Mana gue tahu."

"Lo ke sini enggak sama dia?"

Kathrina menggeleng. "Gue inisiatif sendiri dong. Gue bawain lo ini." Kathrina mengangkat kotak besar yang sedari tadi ditentengnya.

"Apaan?"

"Lego." Kata Kathrina dengan polos. "Kemarin gue juga habis nengok anak artis yang baru sunat, sekalian aja gue suruh asisten gue beli dua. Satu buat anak temen gue, satu lagi buat lo." Kathrina tersenyum dengan lebar.

PENDULUM (BOOK III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang