15. Sabar, ya?

2.1K 257 150
                                    


...

Langit masih gelap, jalan raya lengang keadaannya, hawa dingin masih menerpa dan yang terjadi selanjutnya Azizi enggan membuka mata.

Sehingga bunyi alarm dari ponsel Marsha ia matikan segera dan menyembunyikan benda itu di bawah bantalnya. Ia kembali menutup mata, mengeratkan pelukannya pada perempuan yang kini tak mengenakan pakaian barang benang sehelaipun. Selimut mereka entah di mana, tapi, peduli setan, Azizi tak mengacuhkan, kulit mereka yang bersinggunganlah sumber kehangatan pagi hari ini.

Azizi masih setengah sadar, otaknya bahkan masih berjalan sehingga bunyi lenguhan dari wanita di sampingnya membuat ia kembali membuka kelopak matanya dengan pelan. Sopan sekali, ketika ia membuka mata, senyum melengkung Marsha menjadi ucapan selamat pagi yang indah.

Maniknya menatap dengan lekat, menatap wajah teduh itu, tangannya ia ulurkan untuk menyeka rambut yang menutupi wajah istrinya kemudian ia belai dengan lembut rambutnya. Ia kembali eratkan pelukannya.

"Morning..." Marsha mengucapkan dengan suara yang amat serak, seakan tadi malam ia kehabisan suaranya.

Lihat, gadisnya salah tingkah, sehingga pipinya bersemu dengan merah. Lagi-lagi Azizi harus mengucapkan syukur kepada Tuhan, dengan dihadirkan sorga di hadapannya.

"Tidur lagi aja, kamu kecapean."

"Pasien menungguku."

"Aku juga pasien kamu..." Azizi terkekeh kecil.

Marsha mendengus, ia memilih mencari lengan suaminya dan melepaskan pelan-pelan untuk beringsut dari ranjang. Azizi menatap dengan mengejek, ia eratkan lagi pelukannya, sehingga kini napas istrinya menerpa leher dengan syahdu.

Namun, itu tak berujung lama, karena sekali hentak, Marsha bisa lepaskan ikatan lengan suaminya dari pinggang. Marsha berbaring miring, tangannya menelisik rambut Azizi dengan pelan.

"Sudah panjang, harus potong rambut."

"Potongin..."

"Mau aku botakin?"

"Enggak apa-apa, biar kayak Ipin."

"Ipin..." Marsha tertawa mengejek. "Kalau yang ini Ipin ganteng."

"Tapi, Ipin besar kepala."

"Kamu juga."

"Kepala yang mana yang besar?"

"Maunya yang mana?" Tanya Marsha berbisik.

"Jangan mulai..."

"Kamu yang mulai, pervert." Marsha mencubit hidung bangir suaminya.

"Berapa minggu lagi koasmu? Cepatlah lulus dan leha-leha di rumah, sehingga aku bisa lama-lama kayak gini, setiap hari."

"Masih beberapa minggu lagi." Marsha menyenderkan kepalanya di dada sang suami. Detak jantung Azizi adalah suara favorit Marsha. "Dan enggak ada kata leha-leha di rumah."

"Apa Internship-nya bisa ditunda setahun lagi? Aku bakal gila kalau jauh-jauh dari kamu."

"Apa sefrustrasi itu suamiku kalau jauh-jauh dari aku?"

PENDULUM (BOOK III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang