6. The Soenarjos

1.5K 214 22
                                    





...






Marsha rasanya sudah bosan sekali mengatakan bahwa, ia harus memiliki energi lebih hanya untuk memenuhi undangan makan malam di rumah kakeknya, Kris Soenarjo. Selain muak melihat orang-orang yang serakah dengan ego tinggi, percayalah bahwa, pembicaraan mereka selalu menguji kesabarannya.

Mungkin dahulu, ketika sebelum menikah, Marsha bisa pamit pergi dengan banyak alasan, entah bagaimana, sekarang, ia selalu saja dilibatkan dalam obrolan apapun, terlebih pembicaraan yang benar-benar tidak ada sangkut paut dengan dirinya. Mereka seperti menekankan bahwa kehadiran Marsha yang masih menyematkan nama belakang keluarga besar mereka memang tidak terlalu penting dan menekankan bahwa dirinya ini bukanlah siapa-siapa.

Toh, jika Marsha ingin menegaskan, ia tidak ingin seperak pun harta warisan kakek. Memang ujung-ujungnya perebutan kuasa dan kepemimpinan lah yang menjadi inti mereka berkumpul, jika kakek sakit, tak ada satupun yang peduli pada mereka, hanya inisiatif dari Marsha, Kathrina dan Jesse yang masih setia berkunjung.

Malam ini Marsha pakai Dress berwarna putih tulang selutut yang sopan. Ia bisa digoreng oleh dua wanita sok anggun—Tamara Sasmita dan Jasmine Soesanteo jika berkunjung ke tempat ini memakai pakaian yang rendah.

Sementara suaminya, yang kini baru saja keluar dari kursi penumpang, memakai batik dengan terusan celana bahan. Mobil lain sudah berbaris rapi terparkir di halaman rumah, meyakinkan jika semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga yang besarnya hampir satu unit apartmen mereka.

Angin berhembus cukup kencang, kulitnya merasakan dingin malam, baru selangkah tungkainya bergerak, sebuah tangan sudah mengait di pinggangnya. Aroma Tom Ford Noir yang elegan dan misterius menyeruak di hidungnya.

Sudah tiga hari ini, Marsha masih menikmati kegamangan soal hubungan gelap suaminya, dan dengan tidak sadar dirinya, Azizi tidak mencium perubahan dari Marsha ini. Mereka bahkan sudah jarang mengobrol, bertemu hanya beberapa menit sebelum kembali dengan kesibukan masing-masing.

Mungkin Azizi bukan tak mencium perubahan dari diri Marsha, akan tetapi memang sudah amat tak peduli dengan keadaan istrinya sendiri.

Sesak.

Kendati begitu, hari ini, tentu saja ia harus bersikap biasa saja, harus selalu rapat dan menempel kepada Azizi, bisa repot jika dirinya ini menjadi 'gossip' untuk keluarganya sendiri. Jadi, Marsha menghindari hal itu.

Seperti biasa, ketika ia masuk dan duduk di kursi, tak ia temukan batang hidung Kathrina sedikitpun. Kathrina akhir-akhir ini memang lebih keras kepala, semakin sulit untuk 'mengatur' anak itu, terlebih kini, Kathrina bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa takut harus kelaparan di luar sana jika kedua orang tua 'menghukumnya'.

Lalu pandangan Marsha malah jatuh kepada Jesse yang sedari tadi kelihatan gelisah, seperti ada yang ingin disampaikan oleh pria itu. Jesse yang ia kenal di meja makan ini, bukanlah pria yang sama ketika ia mengenalnya di luaran sana.

Jesse dan topeng tebalnya di keluarga Soenarjo, Marsha patut acungi jempol.

"Saya akan menikah."

Benar, kan. Jesse memang punya pembicaraan yang serius di meja ini. Sontak, seluruh anggota keluarga yang jumlahnya belasan ini menoleh pada kursi Jesse. Termasuk suaminya, Azizi.

"Saya enggak setuju."

Lalu pandangan Marsha dan Azizi jatuh kepada Vion yang baru saja melepaskan sendok dan garpunya.

"Saya enggak minta pemilihan suara, saya cuma memberi tahu, bahwa saya akan menikah." Jesse tersenyum samar kepada kakak sulungnya, Vion. "Dengan perempuan pilihan saya sendiri, Seperti masukan dari Kathrina."

PENDULUM (BOOK III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang