4. Gemuruh, Berisik

1.8K 211 116
                                    

warning : agak 18+

....

Yessica berdiri, mengenggam pada railing besi di balkon belakang lantai dua, menatap hamparan rerumputan di bawah sana yang terdapat beberapa orang yang berlari-larian.

Acara kumpul keluarga terasa jadi sedikit memuakkan untuknya, entah kenapa.

Tentu saja tak ada yang salah dengan orang-orang di bawah sana, tidak pada kakaknya juga adiknya, pun orang tuanya. Ini hanyalah perasaan Chika saja yang merasa bahwa di acara seperti ini... ia merasa sendiri dan terasingkan.

Chika memang sendiri.

Tidak seperti Gracia yang sudah membentuk keluarga kecil dengan suami dan putri semata wayangnya, atau seperti Azizi yang selalu harmonis dengan istrinya.

Tahun besok, Chika sudah bergabung dengan club orang-orang berkepala tiga, bebannya makin berat dengan status itu, dan mau tak mau juga sedikit terpaksa, Chika harus mencari orang baru.

Meski Chika sadar betul, bahwa sakitnya belum tuntas. Kisah cinta lamanya belum lunas. Yessica harus mengambil jalan pintas, mencari seseorang yang pantas, agar bisa meredam hati yang panas, juga tidak lagi Papa tindas.

Mungkin tidak kedengaran bijak, memulai sesuatu yang baru padahal yang lama belum usai, tapi Chika terlalu jemu menanti sesuatu yang tak ada kejelasannya.

"Mau ke mana, Chika?"

Chika ambil kunci mobil dari dalam sakunya, ia menoleh pada sosok Mama yang duduk di kursi kayu depan rumah.

"Cari angin." Chika melengkungkan senyum tipisnya, setelah meraih kardigan berwarna coklat muda dan mengeratkan di badannya.

"Kita belum makan malam."

"Chika menyusul."

"Papa marah."

"Biarkan, nanti reda sendiri. Chika cuma cari angin, bukan buat masalah." Chika berjalan tanpa menoleh lagi kepada Mama, masuk ke Mazda-nya dan siap meluncur mencumbu jalan raya dengan liar.

Mobil Chika berantakan. Terdapat Snelli di kursi penumpangnya, tertulis namanya dengan lengkap,

dr. Yessica T Djatmiko.

Nama yang selalu indah di mata Papa, namun, katanya belum sempurna, karena embel-embel gelar lain belum tersemat. Memangnya kenapa jika Chika hanya ingin sampai jadi Dokter Umum? Kenapa harus selalu dituntut Spesialis? Kenapa juga dengan usia 30 tahun dan belum menikah?

Apakah orang tua akan gatal-gatal jika anak-anaknya belum menikah?

Toh, Pernikahan tak menjamin anaknya bahagia juga, kok.

Chika tiba-tiba gerah.

Pandangannya teralihkan pada sebuah sinar lampu dari kincir raksasa—tidak, itu adalah Bianglala pasar malam, entah ada di mana, tapi mungkin cukup dekat sehingga Chika memilih mendekat ke arah mana BiangLala itu berada.

Setelah mendapatkan parkir untuk mobilnya, Chika turun dan menatap hilir mudik anak muda di depannya. Ia sekarang tak denial, Chika iri melihat anak kisaran Sekolah Menengah Pertama yang bergandengan tangan berkencan sederhana di pasar malam. Sedangkan dirinya, tua bangka ini hanya bisa mengeratkan kardigan masuk ke dalam sana sendirian.

Beruntungnya hujan tidak turun berhari-hari, sehingga sepatu kets yang dipakainya ini tak akan jadi korban.

Chika diam sebentar, ada dua jalan yang sekarang jadi pertimbangannya untuk dipilih. Ke kanan dan ke kiri. Ke kanan, Chika bisa mendapatkan tiket menaiki Biang Lala, Kora-kora serta permainan anak-anak yang tak Chika tahu namanya. Sedangkan ke kiri, Chika bisa menemukan Rumah Hantu, Tong Stan, dan wahana permainan berhadiah.

PENDULUM (BOOK III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang