16. Awal dan Akhir dari Segalanya

1.9K 228 165
                                    

...

Kafetaria adalah satu-satunya tempat paling nyaman dari semua sudut di Rumah Sakit ini. Selain menyediakan makanan-makanan yang Prasma Jinan sukai, tempatnya juga sangat adem, Jinan bisa mencari angin siang atau malam ketika rasa gelisah mulai menyergap dirinya.

Aroma makanan, hilir mudik manusia, bangku-bangku yang penuh diisi.

Prasma Jinan masih tegak berdiri, berdiam mencari tempat mana yang setidaknya masih kosong dan bisa disinggahi. Sampai matanya jatuh pada satu bangku panjang berwarna cokelat di paling pojok kantin, tepat di mana ada dua perempuan yang sedang duduk.

Tahu tidak apa yang pertama kali Prasma Jinan lihat dari kejauhan untuk menarik tungkai dan melihat lebih jelas lagi kemudian siap mendekat?

Seorang perempuan, hanya satu diantara dua.

Bukan perempuan biasa, lebih dari itu.

Gatal rasanya ingin Jinan ungkapkan betapa sangat cantiknya rambut hitam legam bergelombang yang menjadi mahkota di kepalanya itu, namun apa jadinya jika Prasma Jinan begitu?

Gadis itu—yang tak Jinan ketahui siapa namanya, menggerakkan kepalanya ke samping, sebelum akhirnya mata mereka jatuh saling bertemu. Jinan diam sesaat, kesempatan itu ia gunakan untuk menelisik manik cantiknya, menggali setiap asesoris yang Tuhan berikan cuma-cuma di semua lekuk wajahnya. Hidung mancung, bibir semerah bunga mawar—menarik, pipi bulat menggiurkan untuk dicubit, kedua alis tebal dan potongan rambut dengan tataan sederhana. Gadis itu masih sama, diam menatapnya, seperti terpaku dan terpatri, seperti ikut menguliti.

Serasa Jinan temukan Syurga di siang hari, oase di padang Gurun Kalahari. Jika tak sadar diri, Jinan pasti sudah berdecak-decak kagum sedari tadi.

Jinan putuskan untuk duduk di meja depan gadis itu, tangannya mengaduk-aduk kopi susu, menyembunyikan tremor bertemu bidadari yang turun di siang bolong ini, ah, jika dia betulan Bidadari dalam arti sebenarnya, akan Jinan cari di mana selendangnya berada lalu ia bakar agar Sang Bidadari tak kembali lagi terbang menuju langit.

Jinan bukan pria yang banyak tingkah, ia tak punya waktu seluang itu untuk mendekati adik-adik Junior-nya di dunia Kedokteran, maka dari itu... ia siap menanti, kapan datangnya Sang Bidadari dan bergabung dalam Stase-nya, berbulan-bulan berlalu, penantian datang juga, sampai Prasma Jinan tahu siapa Haur yang sedang mengoyak-oyak hatinya ini.

Marsha Lenathea, wajahnya asing di pandangan, tapi, namanya sungguh familiar di telinga.

Marsha Lenathea, Apa boleh secantik itu?

...

Jinan tak paham cinta, sama sekali. Ia fakir asmara. Dirinya sama sekali tak tersinggung dengan kata barusan. Ia bisa berani dan semangat sampai 100%, lantas ketika menghadapi Marsha—dalam sekejap, keberanian itu hilang 99%-nya, dan menemukan dirinya ciut dengan suasana yang mencekam. Pengecut, hardiknya kepada diri sendiri.

Ia menggali, sebenarnya sampai mana ia bisa paham dengan isi hatinya sendiri.

"Temboknya tinggi, sulit..."

"Kita enggak bisa ngontrol mau suka sama siapa, Git." Jinan hela napas begitu dalam.

Tak sengaja, ia bertemu dengan Junior-nya sewaktu kuliah dulu di teras Masjid yang jaraknya hanya selangkah dari Rumah Sakit, yang kemudian ikut Program Pendidikan Dokter Spesialis. Jinan berakhir di Obgyn, sementara sang Junior, memilih Spesialis Saraf.

PENDULUM (BOOK III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang