9. Ujung Tanduk

1.6K 248 229
                                    

...

Stroberi pisang apel
Tercium aroma yang manis
Melon ceri jeruk (jeruk)
Ku jadi ingin menciumnya (chu)
Saat itu aku bingung aku si buah alpukat (kenapa)
Tapi bukan alpukat iya deh alpukat

"Ini lagu apa sih buset..." Marsha mengerutkan keningnya, ketika ia tak sengaja memutar lagu. Marsha kan malah jadi tak galau, padahal dia baru saja menangis setelah lagu Somewhere Only We Know punya Keane menembang di seluruh ruang mobilnya.

Setelah melajukan Honda Civic-nya ke jalan raya. Marsha jadi bingung ke mana ia harus menepi. Sebenarnya tempat yang paling tepat adalah rumah peninggalan sang ayah yang kini kosong tak berpenghuni, tetap saja, meski kosong, masih ada beberapa orang yang bertugas untuk membersihkan rumah tersebut. Akan menjadi pertanyaan kenapa Marsha pulang ke rumah dalam keadaan kacau bahkan tak beralas kaki. Mau pulang ke rumah Kathrina atau Jesse, sama saja dengan masuk kandang buaya, Yohan dan Janos akan memberondong dengan banyak pertanyaan, ide buruk juga jika ia malah pergi ke rumah Kakek.

Marsha segera mengganti lagunya dan ia malah memutar lagu Fall For You milik Secondhand Serenade.

The best thing about tonight's that we're not fighting
It couldn't be that we have been this way before
I know you don't think that I am trying
I know you're wearing thin down to the core

Marsha mengembuskan napasnya.

Ia tidak tahu harus ke mana, tapi, mobilnya malah berhenti di Rumah Sakit Pendidikan—tempat ia menuntut ilmu hampir dua tahun lamanya. Marsha menatap wajahnya di kaca spion. Hancur sekali. Mascara-nya luntur padahalkan ia pakai yang Waterproof, matanya juga bengkak karena menangis.

Ia membuka pintu mobil, kakinya dengan ragu menapaki jalanan raya yang lengang. Ia tatap gedung Rumah Sakit yang tinggi itu, akhir-akhir ini ia betah sekali di rumah sakit, serasa tak ingin pulang, kalau bisa Marsha mau ada di Rumah Sakit terus dari pada di rumah—bahkan Marsha tak merasa bahwa tempat yang sering ia tuju untuk pulang adalah rumah.

Marsha menggerakkan kakinya yang dingin oleh aspal yang baru saja diguyur hujan, ia dilihat oleh orang-orang tapi Marsha tak peduli sama sekali. Marsha bahkan tak peduli jika ia dianggap tak waras sekalipun.

Untuk semua yang telah terjadi, normal saja jika Marsha tak waras sekarang.

Ia tatap layar ponsel yang baterainya tinggal 1%, menunjukkan pukul dua dini hari dan Azizi tak menghubunginya sama sekali.

Bip.

Ponsel itu mati.

Bagus.

"Marsha."

Marsha menunduk, menatap sepatu kinclong berwarna hitam beberapa centi meter dari kaki telanjangnya berada, mula-mula kepalanya bergerak naik ke atas, ia temukan pria dengan kemeja berwarna merah muda—pede sekali memakai warna terang, Snelli di tangan kanannya dan akhirnya yang ia temukan sekarang adalah Prasma Aji Nanda—alias Jinan berdiri di sampingnya.

Marsha menarik dua sudut bibirnya untuk tersenyum, lalu mengangguk sopan pada Dokter Residen yang sebentar lagi menyabet gelar Sp.OG tersebut.

"Maaf..." Tangan Dokter Jinan terulur, sapu tangan bersihnya menyapu sisa Mascara dan air mata yang membentuk sungai kecil di pipinya.

Marsha duduk kaku tak bergerak sama sekali.

Jinan duduk di samping Marsha, menutupi paha juniornya dengan Snelli putih yang ia tenteng sedari tadi.

"Dok, nanti Snelli-nya kotor..." Marsha ingin menolak, tapi, Dokter Jinan tetap melakukannya.

"Enggak apa-apa, tinggal saya cuci." Katanya. "Dari pada paha kamu dipelototin sama orang-orang dari tadi."

PENDULUM (BOOK III)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang