|YOWES BUBAR!|
"Serius deh, hubungan saya sama 'dia' udah enggak kayak dulu. Saya memilih buat menghapus semuanya tapi, kenapa 'dia' selalu menghantui sih!?"
***
Sesuai ucapannya terhadap pria berkulit eksotis dengan kacamata geometric hitam itu katakan, Sakha telah sampai Yogyakarta sekitar lima belas menit yang lalu. Dirinya sekarang tengah berada di salah-satu kedai penjual jajanan yang ada di sana untuk mengisi perutnya yang lapar. Saat perjalanan selama tujuh jam tersebut, ia sama sekali tidak menginjakkan kaki ke gerbong makan lantaran menghabiskan waktu untuk tidur. Sekitar pukul 21:41 WIB dia baru sampai stasiun Gambir karena packing dan melakukan ini-itu dahulu. Ia ke stasiun pun meminta antar tetangga kos yang baik sekali asal NTT, mau order ojol atau taksi online nggak berani. Soalnya jarak kostan dengan stasiun sekitar 13 km.
Sakha menghidupkan gawainya untuk melihat jam, baru pukul enam lebih dua puluh pagi. Dia masih ingin nongkrong di sini dulu, baru kalau udah lebih hangat sedikit akan pesen ojol. Gadis itu enggan untuk meminta jemput Abraham―papinya―karena nggak mau ganggu ritual medangnya sambil baca koran di pagi hari yang sudah seperti keharusan sebelum beraktivitas biasa. Abraham sendiri sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai petinggi ABRI, dan sekarang menyibukkan diri dengan menjajal berbagai kegiatan di sekitar rumah dan gabung komunitas. Beberapa kali pula, Sakha mendapati papinya masih berkutat di dunia kemiliteran namun, tidak sesering dulu.
Gadis itu menyeruput teh Poci dan menggeret kopernya yang tidak terlalu besar. Wajahnya nampak bengap sedikit, tapi tersamarkan oleh frame kacamata. Rambutnya dicepol ke atas, dengan kaus oblong putih gambar beruang yang dipadupadankan boot cut jeans. Sakha berjalan keluar menunggu ojol tumpangannya.
Setelah sampai depan rumah bergaya minimalis tersebut, Sakha turun dan membayar ongkos tumpangannya, lalu masuk lewat gerbang rumah yang terbuka sedikit. Ia pikir papinya itu sedang jalan-jalan pagi sambil ngajak anaknya yang lain. Hanya adopsi, usia satu tahun, warna abu-abu. Seperti sebelumnya, gadis itu merogoh kotak kunci rahasia untuk membuka pintu dan masuk ke dalam. Sneaker putihnya ia letakkan di rak sepatu dekat pot monstera. Rumahnya tidak berbeda dari sebelumnya, dengan ornamen lampu gantung tempo dulu. Memang dari luar rumahnya ini bergaya minimalis, tapi dalamnya sangat penuh ornamen khas Jawa. Meja makan dari jati, foto-foto jaman muda orangtuanya, hiasan dinding dari kayu, piringan hitam, dan banyak lagi. Kesan Jawa Tengah langsung terasa saat pertama kali menginjakkan kaki di ruang tamu. Papi dan maminya memang sangat menghargai warisan budaya ditengah gempuran era globalisasi yang sudah makin menghawatirkan.
Sakha langsung masuk ke kamar di lantai dua, bersiap untuk mandi. Setelahnya ia akan mejeng di depan TV sambil ngemil. Rumahnya sudah bersih, dan di meja makan tersaji panganan. Ya sudah, mau apalagi kalo nggak leha-leha?
Ia turun ke bawah dengan baju rumahan yang kedodoran serta celana pendek. Berjalan ke kitchen set yang ada di ruang makan untuk mengambil bungkus kripik tahu dan membawanya ke depan TV.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Relationship : Como Lo Vueye
Ficción GeneralSakha sangat tidak mau dijodohkan oleh orangtuanya. Walau bagaimanapun ia sudah dewasa dan bisa mencari pasangan hidup sendiri. Namun, papinya malah menjodohkan dirinya dengan pria yang ia temui di halte bus bernama Yudha. Sakha enggak habis pikir...