Sabar Pitulas Kih

63 5 0
                                    

|Accident|

"Mungkin, melepaskan dirimu adalah pilihan paling tepat untuk diriku saat ini. Aku tidak peduli bagaimana kehidupanku setelahnya, yang pasti aku sudah tidak ingin terus mengorbit pada titik yang sama."

***

Yudha baru saja landing dari pesawat dan segera keluar dari bandara YIA setelah perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 1 jam 25 menit itu. Dia berjalan keluar dan mendapati taksi jemputannya sudah terparkir di halaman bandara, pria berkulit eksotis itu langsung saja naik dan taksi itupun langsung membawanya menuju jalanan utama yang cukup padat.

Selama perjalanan pulang ke rumah, Yudha hanya memfokuskan perhatiannya pada gawai hitam miliknya yang menampilkan percakapan antara dirinya dan Sakha yang sudah lama sekali. Dia masih saja menimang-nimang untuk mengirimkan pesan permintaan maaf soal kejadian di Singapore waktu lalu. Hari ini juga sebenarnya dia pulang ke Indonesia selain bertemu dengan ibunya―Hanum, yang telah wafat― karena sebentar lagi dirinya akan selesai masa studinya, juga untuk bertemu Sakha dan meminta maaf sebaik-baiknya.

Dia sudah sampai di kediamannya lalu membayar ongkos taksi dan turun, dia berjalan beberapa langkah dari tempatnya turun tadi. Tidak jauh, hanya sekitar 50 meter dari gerbang kompleks perumahan yang ditempati oleh orang tuanya. Pria itu melangkah memasuki pintu, dan segera berjalan menuju lantai atas guna meletakkan barang bawaannya, kemudian turun dan mencari keberadaan ibu sambungnya, Rani.

"Bu," Yudha berujar lirih mendekati wanita berjilbab yang tengah duduk sembari membaca buku di sudut ruangan dekat taman bunga milik mendiang ibu kandungnya yang berbatasan dengan pintu kaca.

Wanita itu menoleh, agak terkejut melihat kedatangannya kemudian tersenyum. "Pulang nggak kasih kabar?" Yudha hanya meringis, dan menyalami tangannya. "Udah makan belum?"

Pria itu mengangguk. Tetapi, dirinya langsung saja hendak berpamitan dengan Rani bahwa hendak keluar sebentar untuk menemui ibunya sekaligus bertemu dengan Sakha. Rani hanya mengangguk dan mengizinkan, dia sebenarnya ingin menahan sebentar anaknya itu untuk tinggal di sini beberapa waktu, tetapi tak kuasa dia mengatakannya. Bagaimanapun dia tidak memiliki kuasa penuh atas pria di depannya ini.

"Saya pamit, Bu, assalamualaikum."

Yudha lantas meninggalkan rumahnya, lagi-lagi tak menggunakan kendaraan pribadi yang terparkir di garasi. Pria itu lebih memilih untuk bepergian dengan kendaraan umum. Pesan taksi daring, lalu mengantarnya menuju tempat peristirahatan sang ibu yang sudah satu tahun ini belum diziarahi. Sebenarnya dia juga merasa bersalah, karena seakan-akan melupakan sang ibunda tercinta yang wafat 19 tahun lalu itu.

Driver taksi itu mengantarkannya menuju makam yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Sebelumnya ia meminta driver itu untuk berhenti sebentar di toko bunga guna menghadiahi sang ibu dengan tanaman favoritnya. Sesampainya di tempat peristirahatan sang ibu―Hanum―Yudha mengembuskan napas dan berjalan memasuki bangunan bertingkat itu, ia melewati lobi, menghampiri seorang perempuan yang ada di meja resepsionis lantas kembali masuk melewati lorong-lorong bangunan dengan nuansa putih gading itu. Yudha tentu saja masih ingat, lorong Anyelir tempatnya selalu mendatangi sang ibu untuk mengadu tentang keluh kesahnya.

Ia berdiri, memberikan salam pada kotak kaca urutan ke enam dari kiri baris ketiga yang berisi foto-foto almarhumah dan juga guci keramik bercorak mawar berukiran nama 'Hanum Syanendra', lalu menunjukkan oleh-oleh yang dibawanya. "Hai, Bun," sapanya hangat, "saya datang lagi. Maaf sudah lama tidak mengunjungi Bunda."

Yudha melirik bunga mawar merah ditangannya, "saya membawa hadiah untuk Bunda, mawar merah yang cantik," ia menghirup aroma khas bunga berwarna merah tua itu dan tersenyum simpul, "aromanya juga wangi. Sewangi aroma dari tubuh Bunda sejauh yang saya ingat."

Our Relationship : Como Lo Vueye Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang