Savastyan

1.4K 91 2
                                    

Sudah seharusnya kita sebagai manusia sadar dan paham, bahwa kehidupan itu seperti buah buahan, banyak sekali jenis dan warnanya, rasanya pun berbeda beda, ada yang manis, ada yang pahit, ada juga yang asam, persis seperti kehidupan yang manusia jalani.

Tidak selamanya kita yang hidup akan selalu bahagia, tidak pula selalu sedih, bahkan terkadang ada orang yang bingung akan perasaannya sendiri, entah bahagia atau bersedih.

Sevastyan, pria yang menginjak usia 65 tahun, sudah paham betul arti dari hidup yang ia jalani, dia memiliki segalanya, tapi ternyata segalanya tidak bisa membuat dia selalu bahagia, rasa kesedihan dan kehilangan tak luput ia rasakan meski hartanya bahkan bisa membeli apapun.

Selama ia hidup, prinsip yang selalu tertanam adalah harta dan pandangan orang lain itu nomor satu, sehingga orang orang akan selalu mengenalnya sebagai orang yang terpandang dan paling sempurna.

Hingga prinsip itu justru menghancurkan keluarga sempurna yang ia tata sedemikian rupa, rasa egois akan kesempurnaan justru membuatnya menjadi penuh kekurangan, dia kehilangan orang yang ia sayangi dalam artian lain.

Tyan sudah tua, ia tidak ingin kesempurnaan lagi, yang ia inginkan hanyalah kebahagiaan orang orang yang begitu ia sayang, tapi apakah masih bisa?, apakah tuhan masih mau mengabulkan keinginannya?.

"Tuan," suara itu menyadarkan Tyan dari lamunannya.

"Ron berhasil membeli anak itu tuan,"

"Bagus, sekarang aku ingin melihat anak itu Lean" orang yang di panggil Lean menundukkan kepala.

" Maaf Tuan besar, anak itu ada di ruang sehat sekarang, dia pingsan setelah di bawa, mereka benar benar memperlakukannya layaknya hewan, tubuhnya penuh luka dan begitu memprihatinkan," Lean menjawab

Mendengar perkataan orang kepercayaannya, Tyan segera melangkahkan kaki lebar guna menuju ruang sehat yang terletak di bagian sayap kiri markas itu.

Tak tau mengapa hati pria tua itu resah, antara khawatir atau sekedar takut kehilangan budak yang baru saja di belinya. Hei, dia baru beli tidak mungkin kan langsung mati.

Di sepanjang koridor yang di lalui Tyan, para bawahan yang berjaga tanpa aba aba langsung menundukkan kepala, bermaksud menghormati sang ketua.

"Bagaimana kondisi anak itu," sesampainya di ruang sehat Tyan segera bertanya.

"Kondisinya tidak terlalu buruk Tuan, dia hanya dehidrasi dan kelaparan, luka luka di tubuhnya tidak begitu parah, pasti akan mengering jika di beri salep secara rutin, hanya saja lidahnya infeksi, itu butuh perawatan yang intensif," dokter pribadi itu menjelaskan secara singkat kondisi Nala.

"Anda bisa melihatnya jika ingin memastikan kondisinya tuan," Tyan langsung masuk kedalam tanpa mendengar penjelasan lebih dari dokter di depannya.












[>>>>>>>>>>>>>>]













Sesosok manusia berbaju ninja lengkap itu, dengan serius menatap pagar tinggi menjulang yang tersaji di depan mata, tangan putih pucatnya mengepal keras, tatapannya berubah sangat tajam, giginya bergemeletuk membuat ngilu yang mendengar.

Pria itu menarik dalam dalam nafasnya, lalu secara perlahan lahan membuangnya, ekspresi itu berubah menjadi seperti semula, tatapan yang tadinya tajam menjadi biasa saja, justru di gantikan tatapan sendu yang menyedihkan.

"Ragnala ya namanya?," pertanyaan itu mengudara, entah di tujukan pada siapa, karena kenyataannya ia hanya sendirian.

"Aku begitu bodoh hingga membiarkanmu bertahan sejauh ini, harusnya kamu tidak perlu hidup nak, tidak perlu, dunia ini kejam sekali, terlalu kejam untuk kamu yang tidak tau apa apa," seketika air mata itu terjatuh.

RAGNALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang