Melodi

458 46 2
                                    

La Stravaganza

Sebuah alunan melodi biola milik Vivaldi itu, mengalun merdu, membuat tenang pendengarnya, merambat kesetiap sudut rumah, menyisipi di setiap ruang kosong, seolah olah tidak membiarkan sejengkalpun sudut rumah yang tak mendengar, bangunan dengan nuansa eropa yang begitu kental itu menjadi tenang, tidak seberisik biasanya, yang selalu dipenuhi oleh teriakan Nala dan para kakaknya. Ketukan tuts tuts piano turut serta memperindah melodi yang terbentuk.

Angin berhembus lembut, menerpa wajah Jo dan Nala yang asik menggesek biola dan memencet piano. Mereka sama sama melempar senyum ketika saling menatap.
Lengkungan dua bibir tersebut sama, begitu tulus dan menenangkan.

Jo tidak pernah berpikir bahwa ia akan menjadi seorang ayah pada saat ini, menjadi seorang yang harus siap dan bertanggung jawab akan kelangsungan hidup sang anak. Semenjak Mala hilang pada saat itu, keinginannya untuk membangun sebuah keluarga kecil yang lengkap dan bahagia juga ikut menghilang. Tapi semuanya terbantahkan, tepat di depan Jo yang terduduk bersama piano, putranya ada disana, buah cinta dengan sang kekasih, sedang memejamkan mata menikmati setiap gesekan biola yang dipegangnya.

Jo dan Nala, bersama sama menjiwai alat musik yang mereka mainkan, keduanya larut, memejamkan mata menikmati simfoni yang terbuat. Melihat mereka dengan lihai memainkan alat bersuara merdu itu, siapapun akan langsung paham jika mereka memang sepasang ayah anak yang begitu berbakat, selain wajah yang sedikit mirip mereka pun memiliki bakat yang sama.

Mereka ada di taman mansion, Jo meminta tolong pada bodyguard untuk memindahkan piano yang berat itu ke taman, sengaja agar Jo bisa menemani Nala bermain biola sembari menghirup udara segar, dan menikmati pemandangan danau buatan yang ada disana.

Setelah mengetahui bahwa Nala adalah putra kandungnya, Jo benar benar serius saat mengatakan akan membahagiakan Nala, maka saat Nala mengatakan jika ia ingin bermain alat musik bersama sang ayah di dekat danau, Jo dengan senang hati menuruti apa yang diinginkan sang putra. Beberapa hari ini Nala memang sedang badmood karena usaha untuk mendekati Tanler, kakak pertama sekaligus idolanya selalu gagal.

Jo akan senantiasa melindungi Nala dan bertanggung penuh selama ia masih bernafas, mulai saat itu Jo berjanji pada diri sendiri bahwa Nala adalah prioritas utama dalam hidupnya.

"Waw, simfoni yang indah di cuaca yang indah pula King Jo and prince Nala," suara tepuk tangan itu berhasil membuat Jo dan Nala berhenti bermusik. Jo memandang tidak suka pada ponakan bungsunya itu, sedangkan Nala menatap berbinar, merasa tersanjung karena dipuji.

"Telimakasih plince Jinan," Nala membukuk ala ala bangsawan eropa, lucu sekali bocah kecil satu ini. Sok sok an berekting penuh kesopanan.

"Suatu kehormatan bagi hamba yang mulia cadel," Zinan juga membungkuk, mengikuti permainan sang adik, tapi Nala memasang wajah cemberut mendengar perkataan terakhir dari sang kaka.

Jo yang melihat perubahan wajah sang putra yang mencebik lucu, memukul main main kepala Zinan, "jangan merusak senyum indah putraku, dasar bocah."

"Cih, mulai posesif heh?!," anak itu memandang sinis Jo, yang dibalas tidak kalah sinis.

"Apa liat liat, mau kucolok matamu, hah?!," hardik Jo

"Dih, dasar bujang tua tidak laku," Zinan itu memang salah satu spesies manusia bermulut pedas. Selesai berkata, dengan santai Zinan duduk dikursi samping Nala berdiri.

"Heh, pangeran kodok, ayo mainkan biola lagi, dengan senang hati kaka akan mendengarkan," nah kan, mulut pedas itu kembali berkata.

Dengan jari jemari mungilnya, Nala menyentil keras kening Zinan, tidak terima dikatain pangeran kodok, "Nala bukan pengelan kodok ya, masa anak seganteng dan sekelen ini dibilang pangeran kodok, telus kalo Nala pengelan kodok ka Jinan apa?, kodok ngolek!."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RAGNALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang