17. Hari Tanpanya

1.8K 272 21
                                    

Hai hai~ maaf banget aku update agak lama dari sebelumnya. Akhir2 ini aku lagi banyak kesibukan dan kemarin ada beberapa bagian cerita yang aku ubah setelah dapat banyak pencerahan dari temenku. Thank you Kak Seul♥


[•••••• OUR PAST LIFE ••••••]
Story of Nomin
-CheonsAegi-


♫ Play: Davichi - Love is♫

Setelah kejadian yang begitu memilukan, Jeno memutuskan untuk kembali ke Seoul. Ia beralasan pada pemimpin patroli bahwa Letnan Jendral yang tak lain adalah ayahnya sendiri meminta untuk menghadap. Tanpa bertanya lagi, pemimpin patroli yang seorang Sersan itu langsung memberi Jeno izin. Siapa yang berani membantah perintah seorang Letnan Jendral? Terlebih Jeno adalah putranya.

Tanpa berganti baju, Jeno langsung pulang ke rumah yang disambut khawatir oleh sang ibu.

"Astaga, ada apa denganmu, Nak?" tanya wanita paruh baya ketika melihat putra bungsunya datang dengan sangat berantakan.

Tanpa menjawab , Jeno langsung meminta sang ibu agar memberi kabar ayahnya bahwa Jeno telah kembali dan ingin bertemu segera. Melihat keadaan putranya yang mengkhawatirkan, wanita paruh baya itu langsung menghubungi sang suami dan mengatakan apa yang Jeno minta.

"Keadaan Jeno mengkhawatirkan setelah pulang bertugas, lebih baik kau pulang sekarang dan bicara dengannya." ucap wanita itu melalui telepon rumah.

Setelah menghubungi sang suami, ibu tiga anak tersebut kembali menemani putra bungsunya. Tidak ada yang Jeno lakukan selain duduk sambil menunduk dan melamun.

Dengan usapan lembut di punggung, ibunya bertanya, "Sebenarnya apa yang terjadi?"

Dengan tatapan kosong Jeno menjawab, "Aku.. telah membunuhnya, Eomoni."

*Eomoni (어머니): Ibu (panggilan formal)

Tampaknya sang ibu tidak memahami maksud Jeno. Beliau berpikir Jeno syok karena membunuh para pemberontak setelah pulang dari tugas khusus.

Sebagai seorang tentara yang terlatih, membunuh mungkin bukan hal baru untuk Jeno mengingat kekuatan militer di era pemerintahan ini sangat mendominasi. Namun, seseorang yang ia bunuh kali ini adalah belahan jiwanya. Itulah yang membuat Jeno seperti kehilangan separuh kehidupan.

Masih dengan usapan lembut sang ibu kembali berkata, "Ini pasti sulit untukmu, tapi kau sudah melakukan yang terbaik. Semua akan baik-baik saja, Jeno. Kau akan baik-baik saja."

Dalam diam Jeno menolak ucapan sang ibu. Tidak, dia tidak akan baik-baik saja setelah semua ini. Terlalu menyakitkan untuk mengatakan ia akan baik-baik saja ketika kepalanya terus memutar kejadian semalam seperti mimpi buruk.

Ibunya berusaha menghibur Jeno, memberikan kata-kata penenang, mengajaknya untuk makan, namun Jeno tidak mengindahkannya. Bukan bermaksud tidak berbakti, hanya saja isi kepala Jeno sangat kacau. Yang ia butuhkan hanya bertemu dengan sang ayah.

Beberapa menit berlalu, pria tinggi dan gagah akhirnya datang masih dengan seragam dinas militernya.

Pria yang tak lain adalah ayah Jeno cukup terkejut melihat penampilan putranya jauh dari kata baik-baik saja. Wajah pucat, mata sedikit merah, seragamnya lusuh, seperti baju yang baru kering dan langsung dipakai kembali, lalu sepatunya kotor serta ada bercak darah di celananya. Dari sana pria berumur tersebut sudah bisa menebak bahwa Jeno baru saja pulang bertugas.

OUR PAST LIFE √NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang