Perfect Timing (2)

7.4K 1K 57
                                    

Aku menatap sekumpulan orang yang kini sibuk meliukkan tubuhnya. Ada yang bersama pasangannya, ada juga yang bersama teman-temannya. Helaan napas panjang keluar begitu saja dari bibirku.

Andai saja Zarifa bisa kuajak ke sini untuk sekada melepas suntuk, aku pasti tidak akan bosan seperti ini. Niat hati yang ingin mencari hiburan dan sedikit ketenangan, malah semakin terasa tidak tepat datang ke sini.

Aku meneguk satu gelas lagi minumanku. Alkohol menjadi penenang saat ini meski sebenarnya tidak benar-benar berpengaruh. Tapi sedikit mengalihkan rasa sakit di dadaku saat cairan itu melewati tenggorokanku.

"Hai, cantik."

Aku menepis lengan seorang pria yang kurang ajar menyentuh pundakku. Aku tatap dengan pandangan kesal sebelum kakiku turun dari kursi bar.

"Sombong banget lo," kata pria itu dan sialnya pinggangku ditarik olehnya cukup kuat.

Aku menoleh dan memberontak. Belum sempat aku ingin menghajar wajah menyebalkannya, seseorang sudah lebih dulu menghajar wajah itu. Pria di depanku terhuyung ke belakang dan jatuh ke lantai.

"Brengsek!" teriaknya tidak terima. Apalagi saat darah segar keluar dari sudut bibirnya.

Aku menelan ludah menatap siapa pelaku yang membuat pria itu mengumpat kesal. Anggara. Bagaimana bisa dia ada di sini?

"Kamu gak papa?" tanyanya menoleh padaku.

Aku kembali menatap pria kurang ajar di depanku yang kini sudah berdiri dan siap melawan Anggara. Aku menyentak lengan Anggara agar dia menghindar dari kepala tangan di depannya.

"Lo siapa, ha?!" teriak pria itu karena tinjunya hanya mengenai angin.

"Lo yang siapa?!" balas Anggara dengan sama kesalnya.

Anggara menarik lenganku ke belakangan tubuhnya sehingga aku kini berdiri menghadap punggung lebarnya. Sial. Rasanya pasti sangat nyaman jika aku bersandar di sana.

"Dia punya gue," kata pria di depan Anggara.

Aku mengernyit dalam. Sejak kapan pula aku menjadi milik pria bodoh itu. Dia mengada-ngada saja.

Anggara menoleh padaku dan aku menggeleng kuat berulang kali. Bahkan aku tidak kenala siapa pria itu.

"Dia tunangan gue," Anggara berujar tenang dengan nada dingin.

Sialnya jantungku berdetak tak karuan. Aku takut Anggara akan mendengar degubnya jika saja musik di sini tidak ada. Apalagi saat Anggara menggenggam erat tanganku.

"Tunangan lo?" Pria itu tampak terkejut dan dia mencuri lihat padaku. Aku memberikan tatapan jijik padanya sehingga dia tidak lagi menatapku.

"Oke, sorry. Gue kira dia sendiri." Pria itu mengangkat tangan dan berlaku begitu saja meninggalkan aku dan Anggara.

Aku menarik tanganku dari genggaman Anggara tapi pria itu tidak melepaskannya. Dia malah semakin mengeratkan genggaman itu dan membawaku keluar dari sana.

Anggara membawaku ke parkiran di mana mobilnya berada. Dia membuka pintu mobil, lalu memaksaku untuk masuk dengan sedikit dorongan. Aku berdecak tapi tetap menurut. Pintu mobil dia tutup dengan sedikit bantingan sehingga aku terlonjak.

"Kenapa sih?" kesalku saat melihat dia tergesa melangkah ke pintu kemudi.

Anggara masuk dan menyalakan mobilnya. Dia mengendarai mobilnya dengan tenang tapi aku yang menjadi tidak tenang. Meski dia diam saja selama perjalanan, aku merasa ada yang berbeda dengannya.

"Aku turun di halte depan aja."

Halte yang kumaksud sudah sangat dekat tapi mobil Anggara sama sekali tidak ada tanda-tanda untuk berhenti. Aku menghela napas panjang dan menoleh pada Anggara.

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang