Perfect Timing (3)

8.3K 990 57
                                    

"Kamu suka aku atau Papaku?" ulang Anggara dengan begitu jelas.

Aku mengerjap, lalu menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana bisa Anggara menanyakan hal seperti itu dengan sangat tenang? Aku bahkan ingin berteriak saat ini.

Jadi, dia tahu sebenarnya perasaanku bagaimana? Tapi kenapa selama ini dia seolah tidak pernah melirik bahkan menatapku?

"Emangnya sekarang itu penting? Bukannya—"

"Jawab, Siya."

Penuh penekanan. Aku kembali menelan ludah dan kali ini memberanikan diri menatap lurus pada matanya seperti apa yang tengah dia lakukan.

"Aku suka Om Jaya."

Kening Anggara berkerut dalam. Matanya seolah hendak menembus bola mataku. Bibirnya sudah berkedut ingin berbicara, tapi aku lebih dulu bersuara.

"Tapi aku lebih suka anaknya."

Bisa kulihat rahang Anggara yang sejak tadi tegang berangsur kendur. Tatapannya juga tidak setajam tadi. Aku ingin tertawa di tengah rasa gugup yang melanda saat ini.

"Rifa," lanjutku.

Anggara berdecak. Dia dengan kesal menekan berbagai tombol di sebelah kanannya, kemudian bangku yang aku duduki terdorong ke belakang dengan sandaran yang ikut rendah. Aku jadi terbaring dan spontan menahan napas karena terkejut.

Aku mengerjap menatap Anggara yang kini ikut bangkit dari bangku kemudi, lalu melangkah dengan mudah ke arahku. Dia menumpu kedua tangannya di sisi tubuhku dengan sebelah lututnya yang juga bertumpu di kursi sebelah pahaku.

"Bang!" pekikku waspada.

Sebelah tanganku menahan dada Anggara yang kini kian turun untuk menindihku. Sial. Apa yang akan dia lakukan? Aku yakin area perkiran ini diawasi oleh kamera di berbagai sudut. Bagaimana kalau ada yang berpikir macam-macam?

"Jangan memancingku, Siya."

"Apaan sih? Aku cuma—"

"Cuma apa? Kamu lihat hape aku. Mustahil kamu gak tahu apa-apa. Apa itu kurang jelas?"

Aku menelan ludah untuk kesekian kalinya. Oke, aku sudah lihat apa yang tertera di ponsel Anggara. Orang bodoh juga tahu kalau laki-laki itu pasti punya perasaan padaku jika melihat emotikan hati di nama kontaknya.

"Sejak kapan?" tanyaku pelan.

"Apa?"

"Abang suka aku sejak kapan?"

"Udah lama."

"Kapan?"

"Aku lupa."

Aku berdecak dan memukul kesal dadanya. Anggara meraih tanganku, lalu ikut menahannya bersama tangannya. Kini aku tidak bisa berkutik lagi karena Anggara benar-benar mengurungku.

"Jawab pertanyaanku dulu. Kamu suka aku atau enggak?"

"Iya, suka. Puas?"

Anggara masih diam mendengar jawabanku. Beberapa saat dia hanya menatapku saja tanpa bersuara. Aku cukup malu ditatap seperti itu olehnya untuk pertama kali. Apalagi posisi kami sangat tidak mendukung.

"Lepasin," rengekku.

Aku mulai tidak kuat begini. Bukan takut Anggara yang macam-macam padaku, tapi malah sebaliknya. Polos-polos begini dan tidak pernah pacaran, aku juga punya nafsu dan Anggara adalah objeknya selama ini.

Bagaimana kalau aku kelepasan menodainya di sini? Tidak. Jangan, Siya. Tahan.

"Lagian juga udah gak penting, kan? Bukannya bentar lagi Abang mau nikah? Mana ceweknya juga hamil anak Abang."

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang