Mei, 2016
"Bangsat lo, kak!"
"Sakit, Din, Ya Allah ancur badan gue."
"Biarin. Harusnya gue aduin ke bokap lo biar digebukin karena hampir merawanin anak orang!"
Harfi menghela nafas lelah, dia menangkap paksa lengan Dinda. Pagi-pagi buta sekali, setelah hampir empat bulanan mereka tak bertemu karena Harfi ada urusan keluar kota, adik sepupunya itu datang ke apartemennya seperti orang kesetanan.
"Guekan udah minta maaf."
"Cuih."
Harfi berdecak, memilih meninggalkan Dinda dan berlalu ke dapur.
"Gue masih gak terima ya, Kak. Sahabat gue loh ini, kalau sampai bunting gimana?"
Kepalanya pening mendengar suara Dinda yang menggelegar. Dia baru saja sampai ke Jakarta sore kemarin, sisa-sisa letih yang dia bawa dari luar kota masih terasa.
"Gue bodoamat kalau itu orang lain. Ini Rere!"
"Dia yang ngejar gue." Harfi berbalik dan menatap datar. Sorot matanya terlihat sedikit kesal.
"Ya, gimana pun! Lo harusnya tetap nolak kalau emang gak bisa sama dia. Dia sampai trauma."
Harfi berbalik, membuka kulkas. "Separah itu ya?" Lirihnya yang sudah pasti tak terdengar oleh Dinda.
"Habis ini, jangan cari dia lagi. Gue gak akan jawab kalau lo nanya-nanya tentang dia kayak dulu." Dinda memberi jeda sedikit, dia sudah duduk manis di sofa sambil memangku keripik oleh-oleh yang Harfi bawa.
"Lagian ya, kalau emang gak ada perasaan ngapain sih dulu lo nanyain tentang Rere? Gue aja sampai mikir lo naksir dia, Kak."
"Gue cuma mau akrab, kayak lo yang bisa akrab sama dia." Jawab Harfi lugas.
"Tapi buat apa? Lo gak sadar muka lo ganteng apa gimana, sih? Lo lembut dikit aja cewek-cewek pada ketarik."
Harfi bersandar pada daun pintu kamarnya. "Gue minta maaf buat semua kesalahan gue sama dia, tolong sampain. Udah ya, gue mau istirahat lagi. Kalau mau pulang jangan lupa kunci pintu." Setelahnya, dia berlalu masuk ke kamar.
Dinda mendengus. "Plot twist banget kalau dimasa depan lo beneran jodoh sama dia, Kak."
**
"Kenapa sih harus sampai pulang kampung selamanya? Kan, bisa Mama ke sini lagi kalau Oma udah sembuh." Gadis yang baru saja memotong rambutnya sebahu itu nampak merajuk. Wajahnya tertekuk.
"Kamu kalau gini mirip muka Papa, Re." Mamanya pun malah tertawa.
Regina menghentakkan kakinya kesal. "Rere serius, Ma, ih!"
Mama membelai rambut anak semata wayangnya itu. "Oma udah tua banget, Re. Bude-budemu suruh Mama pulang dari pada sering sendirian di Jakarta. Mama juga rencananya mau buka ketering, ada peluangnya juga kata Bude Nung."
Sejujurnya Regina tak begitu peduli, dia masih kesal harus ditinggal sebatang kara disini. Memang, Jakarta menjadi kota kelahirannya dan tempat segala kenangan hidupnya tersimpan, tapi tetap saja hidupnya masih perlu bergantung pada Mama.
"Mama percaya loh sama kamu, Re, jadi jangan kecewain Mama. Kamu kuliah bener-bener, jangan ikut pergaulan bebas. Mama di kampung nyari nafkah juga buat kamu, Mama mau kamu disini ada hasil. Ingat, ya?"
"Iya, iya."
"Jangan iya-iya aja kamu. Masuk kuping kanan, harus ke simpan di otak." Tak sudah-sudah wejang dari Mama. Dari A-Z mungkin ada.
"Minggu depan yang nyewa rumah kita baru pindah ke sini, jadi selama itu kamu tinggal disini dulu. Kalau mereka udah datang baru kamu ke kosan. Cicil barang-barang yang mau kamu bawa ke kosan biar ga ribet nanti. Denger?"
Regina menghela nafas. "Iya, Mama."
"Ya udah, Mama pergi, ya. Ojeknya udah datang,"
Rere mengangguk, mencium tangan Mamanya. Beberapa detik dia pasrah diciumi oleh sang Ibu.
"Kalau udah sampai kereta kabarin, ya?"
"Iya bawel. Hati-hati di rumah, jangan lupa kunci pintu."
Melihat Mamanya yang sudah pergi membuat Rere menghela nafas. Dia sekarang disini sebatang kara. Benar-benar sendirian tanpa satu pun saudara.
***
Kalau ada typo maklumi, ya. Ngantuk soalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Memories
ЧиклитRere jatuh cinta pada Harfi. Kata orang, cinta membuat seseorang jadi kurang waras, ternyata benar. Rere gelap mata, dia terayu sentuhan hangat Harfi malam itu. Mereka sama-sama menjadi gila dan lupa dunia. Tetapi, Harfi sadar ini semua salah. Dia m...