0.18

285 21 0
                                    

Sudah pagi hari, tetapi tempat itu masih temeram, dilingkupi rasa dingin juga hawa kesedihan yang mendalam.

Sudah seminggu sejak kejadian tempo hari. Menyisakan ketakutan dan juga kebencian di dadanya.

Berhari-hari Regina menghilang dari dunia. Menenggelamkan diri bersama selimut-selimut tebal sambil terus meratapi hasil rasa sakit waktu itu.

Di dunia ini hanya Dinda yang tahu, hanya perempuan itu yang mengerti rasa sakitnya. Hanya Dinda yang mau mengurusnya yang sudah tak memiliki semangat hidup.

Regina merasa dirinya makhluk yang seharusnya tak hidup. Rasanya dirinya seperti kotoran. Berkali-kali mandi pun, dia masih merasa enggan dengan tubuhnya, masih merasa ada jejak-jejak yang pria itu tinggalkan.

Tak berapa lama  pintu kamar terbuka. Dinda masuk dengan setelan kantor yang hari itu senada berwarna hitam dari atas hingga bawah. Seperti, perempuan itu ikut terbawa kesedihannya.

Dia menghela nafas melihat kondisi sahabatnya. Sudah seminggu dan berat badan Regina turun drastis. Melihat kondisi ini membuat Dinda benar-benar langsung ingin memenjarakan Gunawan.

Dinda duduk di sebelahnya. Mengusap pelan kepalanya dengan rasa sayang. "Gue janji, Re, dia bakal ketangkep. Tunggu, ya."

Matanya terpejam, tetapi telinganya mampu mendengar kata-kata itu. Setidaknya, rasa sakitnya terobati dengan janji tersebut.

"Re?" Pundaknya ditepuk pelan.

Kelopak mata yang membengkak dengan sedikit menghitam itu terbuka, menampilkan tatapan kosong. Senyum Dinda adalah pemandangan pertamanya.

"Gue mau ke Bandung sehari karena ada acara keluarga, gue udah minta dokter Shani buat dateng mantau lo. Jadi, lo jangan merasa sendiri dan jangan berbuat aneh-aneh, oke?"

Regina mengangguk pelan.

Ketika siluet Dinda menghilang dari kamarnya. Kesunyian itu makin terasa. Ternyata, mau sebanyak apa pun orang di hidupmu, kau akan tetap sendirian kesepian.

Apa seperti ini rasa mati? Sendirian di kegelapan. Tak ada suara. Hanya ketakutan yang terus mengancam. Apa dia sudah mati?

**

Dinda tak fokus dengan apa yang dibicarakan keluarga besarnya. Berkali-kali dia menatap ponsel menunggu balasan dari dokter jiwa yang dia pekerjakan untuk membantu Regina.

"Ekhem ..."

Dehaman itu mengalihkan perhatiannya pada orang di sebelahnya. Menatap datar orang tersebut yang menyuruhnya untuk fokus.

Tak lama ada pesan masuk dari orang tersebut.

Harfi sepupu

Nunggu chat siapa deh sampe eyang ngomong gk lu hirauin

Bacot
Gk ush ikut campur

Harfi mendengus. Dinda memang sangat sensi padanya, tetapi hari ini jauh lebih dari sebelum-sebelumnya. Padahal dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun.

"Dinda?"

"Eh, iya eyang?"

Yang dipanggil merasa bingung melihat tatapan keluarga besarnya. Terutama tuan rumah, menggeleng-geleng tak habis pikir.

"Kamu bertengkar dengan pacarmu?"

"Hah, engga eyang. Gak punya pacar," cicitnya.

Papa yang duduk di seberangnya menghela nafas. "Dia lagi ada masalah, Yah, dikerjaannya. Saya meminta maaf atas kesalahan putri saya."

Dinda menunduk, merasa bersalah. Seharusnya dia percaya saja dengn dokter Shani dan fokus kepembicaraan keluarganya.

Harfi yang duduk di sebelahnya terdengar menahan tawa. Dia menoleh dengan sinis. Sepupu kurang ajarnya ini harus diberi pelajaran.

**

"Pa? Gimana? Udah nemu bukti-buktinya?"

Selepas acara keluarga itu usai, Dinda duduk mendekati Papanya. Sebenarnya tujuannya ke Bandung adalah bertemu Papa, karena Papa sudah sebulanan ini banyak menghabiskan waktunya di Bandung.

Pria lima puluh tahunan itu membuka ponselnya, mencari chat dengan sang sekretaris.

"Om Akbar udah nerima satu bukti dan itu cuma kasus penggelapan dana, buat kasus pelecahannya masih belum. Jadi, Papa minta buat nyari lagi,"

Dinda menghela nafas lesu. "Dinda kasian banget sama Rere. Dia bener-bener gak ada semangat hidup."

"Kamu udah nyoba bawa ke dokter Shanikan?"

Dinda mengangguk. "Dokter Shani yang aku suruh datang, sih. Soalnya Rere gak mau keluar apartnya."

"Terus pantau dia, Din. Takut kejadian kaya seminggu lalu."

Tepat sehari setelah kejadian di kantor itu, Dinda datang tergopoh-gopoh ke apartemen Regina karena pihak apart yang menelponnya, mengabarkan bahwa Regina melakukan percobaan bunuh diri.

Dari sanalah Dinda tahu apa yang dialami sahabatnya tersebut. Dia marah, benar-benar marah. Bahkan, besoknya dia sampai mendatangi perusahaan tersebut. Membuat keributan dan membocorkan apa yang sudah atasan disana lakukan.

Cukup mendapat perhatian dari para pekerja yang datang pagi itu. Tetapi, ujung-ujungnya dia malah di usir dengan ancaman perusahaan itu akan membawa ke jalur hukum kalau Dinda tak mau pergi.

Dengan begitu, Dinda mengadukan semua perbuatan perusahaan itu pada Papanya. Papa bilang, dia tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara seperti itu. Harus mengumpulkan bukti, lalu menyerang.

Walau rasanya sudah geram dan ingin mengobrak-abrik gedung tersebut dan menyeret yang namanya Gunawan untuk dipukuli sampai mati.

**

Ketika hendak masuk ke mobil, Harfi menghadang jalannya. Membuat dia geram. Kenapa juga dulu dia tak memukuli Harfi sampai mati seperti keinginannya kepada Gunawan sekarang, ya.

"Minggir!"

"Bentar, Din. Ada yang mau gue tanyain."

Dia menatap malas. "5 menit."

"Tadi, gue gak sengaja dengar obrolan lo sama om Dhika-"

"Gak sengaja apa sengaja?"

Harfi terdiam.

"Apa pun yang lo dengar lupain aja. Gak usah ikut campur urusan gue."

Dinda masuk ke mobil, tak mempedulikan Harfi yang menggedor kaca mobilnya dan mendapat tatapan heran dari keluarga yang ada di halaman rumah.

Dia memutar setir dan pergi meninggalkan rumah Eyang, meninggalkan Bandung.

***

5 Juni, 2024

Hidden MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang