0.15

562 37 9
                                    

Regina menyelimuti badannya dengan selimut tebal berjam-jam. AC pun sengaja dia buat semakin dingin. Suhu badannya terus naik turun. Seakan-akan dia ingin bermain-main dengan penyakit.

Sudah tiga hari dia mengajukan cuti, badannya benar-benar drop karena semenjak dipanggil Pak Bambang vertigonya tak kunjung hilang.

Bahkan, sudah tiga hari ini dia hanya makan dua kali. Dirasa pasti berat badannya turun drastis.

Hal yang paling mengenaskan, tak seorang pun tahu kalau dia sedang sakit. Ponselnya sengaja dia matikan. Untung saja dia menyewa apartemen, jadi tak ada tetangga yang curiga mengapa dia tak kunjung menampakkan diri.

Tak lama dari itu terdengar suara bell, berkali-kali dan semakin brutal karena tak kunjung dibuka-kan pintu.

Regina menghela nafas. Siapa manusia yang berkunjung di jam sembilan pagi hari rabu begini? Tidakkah mereka punya kesibukan?

Karena dentingan bell tak juga berhenti, mau tak mau Regina beranjak menuju pintu utama. Memaksakan diri dengan kepala yang terasa sakit dan juga melayang-layang.

Tanpa melirik layar intercom, dia langsung membuka pintu. Disanalah Dinda berdiri dengan setelan kantor, bonus wajah galaknya.

"Lo gila? Ngilang tiga hari? Gua panik anjing, takut banget lo mati. Mentang-mentang udah pindah ke apartemen, sok-sok gak ngabarin,"

Regina menghel nafas, membiarkan pintu terbuka dan kembali menuju kamarnya. Dinda itu ibarat pengganti Mamanya disini. Luar biasa. Bahkan, perempuan itu kalau sehari saja tak dikabari akan mencak-mencak.

"Gue lagi ngomong anjir, Re!"

"Up to you." Regina mengibaskan tangan dan kembali membaringkan badannya di kasur, menggulung-gulung seperti jajanan anak SD.

Dinda ikut melangkah masuk. "Buset, ini kamar apa kutub utara. Lo mau hipotermia? Tolonglah, gue tau hidup ini berat tapi jangan mati dulu." Terus, Dinda tak berhenti mengomel.

Regina memejamkan matanya, mengabaikan mulut Dinda yang tak ada rem.

Dinda juga mengatur AC ke suhu normal. Kakinya saja terasa ngilu menginjakkan lantai, saking dinginnya.

"Lo kemana aja gak ada kabar? Tiduran kaya gini selama tiga hari?" Dinda kembali membombardir dirinya dengan pertanyaan, perempuan itu berkacak pinggang di pinggiran kasur.

"Vertigo gue kambuh."

"YA AMPUN ANAK MONYET! Terus apa gunanya lo punya teman-teman tapi gak ngabarin? Lo beneran pengen mati apa gimana, sih?"

Regina membuka matanya, rautnya menunjukkan kelelahan. "Din, plis kali ini aja jangan bawel, kepala gue pusing banget."

"Ya udah tau punya sahabat bawel, tapi lo tetap aja ngeyel nyimpan semua sendirian. Lo itu harusnya ..."

Regina rasa Tuhan saat menciptakan  Dinda lupa memberi setelan rem, bahkan saat berjalan menjauh pun dia masih mengomel. Dari kamar ini saja masih terdengar samar Dinda terus berbicara tanpa lelah.

"... pasti juga lo belum makankan? Gue liat kulkas lo masih penuh. Sekarang ayo makan dulu, jangan sampai effort gue yang ijin dan ke sini sia-sia ya, nyet!"

Dinda membawakan sekotak pizza dan dua potong burger, ada satu botol besar air mineral juga. Karena malas berdebat, Regina memilih pasrah. Memakan yang dibawakan walaupun benar-benar tak berselera.

"Jadi, kenapa lo sampai begini? Gue yakin ada sesuatu mengingat lo belakangan ini gila kerja."

Regina mengunyah pelan potongan pizza isi daging tersebut, dia menggeleng. "Cuma kecapekan. Kerjaan gue lagi banyak."

Hidden MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang