0.0

1.9K 79 0
                                    

Januari, 2016

Apartemen itu kedap suara, meredam suara desahan yang keluar dari bibir gadis 18 tahun tersebut. Busana atasnya sudah berserakkan di lantai, menyisakkan rok abu-abu beserta dalamannya yang sudah terasa basah.

Di depan gadis itu seorang laki-laki 21 tahun sedang menjamah leher si gadis. Dia begitu bernafsu, meninggalkan jejak kemerahan di sekitar leher dan bahu perempuan yang lumayan dia kenal baik tersebut.

"Kak ..." lenguh gadis itu.

Sambil masih menciumi, lelaki itu berkata, "tahan, Re."

"Kak Harfi ..." panggil perempuan itu lagi.

Yang dipanggil menghentikan aktivitasnya, menatap sayu pada Regina. "Kenapa?" Lirihnya.

Nafas Regina memburu melihat tatapan itu. Bagian bawahnya terasa sakit karena tak juga mendapat sentuhan.

"Kita bakal ngelakuin ini?" Tanyanya canggung. Ada bulir keringat yang turun dari pelipis gadis itu, padahal AC yang Harfi hidupkan lumayan rendah.

Harfi tertegun. Tiba-tiba saja kewarasannya muncul.

"Aku udah gak kuat, yang bawah sakit banget."

Dada Harfi bagai dihantam berkali-kali. Dia menatap mata Regina, terlihat binar dan keraguan.

Dia teringat semua janjinya pada mendiang Ibunya, janji untuk tidak menjadi brengsek dan bajingan. Lalu, bagaimana bisa dia berakhir di sebuah ruangan kedap suara dengan seorang gadis, sahabat adik sepupunya sendiri pula.

Kalau Dinda tahu dia baru saja menjamah badan sahabatnya, sudah pasti dia akan dibunuh oleh adik sepupunya itu.

Mendadak kepalanya terasa pening. Bayang-bayang buruk kalau saja kegiatan ini sampai jauh memenuhi kepalanya.

Tanpa menunggu lama, Harfi memindahkan Regina dari pangkuannya ke sofa. Memungut pakaian perempuan tersebut dan memasangkannya pada badan Regina. Bahkan, dia juga memasangkan bra.

"Kak, kenapa?" Regina jelas bingung dengan sikap Harfi yang berubah tiba-tiba, tetapi tidak menghentikan aktivitas laki-laki itu.

Harfi hanya diam. Setelah memasangkan baju Regina, dia beralih memakai baju kaosnya dan masuk ke kamar sebentar untuk memakai celana panjang.

"Kak? Rere buat salah, ya?" Regina merasa khawatir. Dia takut semuanya sirna. Bagaimana pun untuk berada disini dan meluluhkan hati lelaki itu sangatlah sulit.

Harfi masih diam.

"Kak, jawab Rere!" Bahkan Regina sampai memegang lengan Harfi.

Harfi menoleh, menghela nafas berat. Tanpa menjawab, digapainya tas sekolah Regina. "Ayo, saya antar pulang."

Regina terdiam. Panggilan aku yang berubah menjadi saya saja sudah menandakan dia kalah telak. Harfi tetap tidak bisa luluh, dia masih tetap sama.

Di dalam mobil, begitu hening. Mati-matian Regina menahan tangisnya. Dia sudah buang jauh-jauh harga dirinya untuk mendapatkan ini semua, tetapi usahanya masih tetap sia-sia.

Kenapa mencintai Harfi begitu sulit? Kenapa dia terlalu terobsesi dengan laki-laki ini? Rasanya dia ingin berteriak keras-keras dan mengumpat sejadi-jadinya.

"Kak-"

"Lupain semuanya. Apa pun yang terjadi malam ini, lupain Regina." Harfi memotong.

Bagai disambar petir, tubuh Regina terasa kaku. Ada bagian paling dalam hatinya yang terasa ngilu. Air mata yang dia tahan dari tadi mengucur begitu saja tanpa tahu malu.

"Rere suka kakak dari lama."

"Saya tau."

"Kenapa Rere gak bisa dapatin hati kakak, sih? Apa yang kurang dari Rere? Rere rela ngasih badan Rere buat kakak. Jadi, apa yang kurang?" Tuntutnya frustasi dengan isak tangis.

Harfi tetap tenang, tapi kata-kata itu mampu mengusik pikirannya. "Saya gak punya perasaan sama kamu. Jadi, lupain aja."

Isak tangis Regina makin menjadi, sudah kepalang tanggung, dia tidak merasa malu untuk menangis dengan kencang. Toh, harga dirinya sudah hancur dari pertama kali mengejar Harfi.

"Saya minta maaf." Lirih Harfi. Sejujurnya, tak kuat mendengar perempuan ini menangis sejadi-jadinya. Apa sesakit itu, ya?

Saat mobil berhenti tepat di depan pagar rumahnya, Regina lantas menyeruak keluar tanpa berpamitan. Persetan semuanya, dia benar-benar hancur.

Membuka pintu rumah yang sudah dikunci Mamanya dengan tangan bergetar. Ketika masuk, lampu ruang tengah sudah mati, hanya dapat tempias dari lampu dapur.

Dia berlari masuk ke kamarnya, mengabaikan kalau saja Mama bisa mendengar suara langkah kakinya.

Dilemparnya tas sekolah itu dengan sembarang, memilih masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan segayung air, tanpa melepas seragam abunya. Lalu, menangis kembali sejadi-jadinya.

"Rere bego! Bego! Bego!" Racaunya sambil meremas kuat kemeja putih yang sudah basah itu. Tanpa tedeng aling dia melepas paksa kemeja putihnya, beberapa kancing baju terlihat berhampuran di dekat kakinya. Mengusap kasar bekas cumbuan Harfi.

"Rere lo najis!" Umpatnya pada diri sendiri. Menggosok lebih kasar leher, bahu dan dadanya, berharap bekas merah padam itu bisa hilang dari sana.

Barulah sekarang kewarasan yang dulu kalah oleh obsesi cinta, kembali. Sambil menangis dia mengingat betapa bodohnya dia mengejar seorang Bhai Harfi Ananda. Memang lelaki itu banyak istimewanya. Dia pintar baik akademik maupun nonakademik. Dia ganteng. Dia sopan dan lembut.

Cinta yang awalnya dia kira hanya cinta monyet saja berubah menjadi obsesi, sampai Dinda sahabatnya sendiri pun tak mampu mencegah. Berbagai cara dia lakukan untuk mendapat perhatian Harfi. Untuk mendatangi kampus laki-laki itu saja dia sanggup.

Dengan tidak tahu malunya, dia datang menghadiri wisuda laki-laki itu minggu lalu. Mengabaikan tatapan bingung orang-orang, pasalnya Harfi sama sekali dikenal tidak punya perempuan istimewa.

Harfi menyambutnya dengan baik, entah benaran tulus atau hanya untuk menghargainya. Namun, dimatanya itu sebuah lampu hijau dan berujung pada malam ini, dia rela memberikan badannya pada Harfi.

"Anjing!" Umpatnya. Dia jatuh terduduk dengan badan lemas. Rasanya benar-benar ingin hilang saja dari dunia.

***

Hidden MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang