0.8 (WARNING)

4.8K 125 1
                                        

Sore itu terasa sepi, hanya ada kicauan burung gereja. Fakultasnya pun sudah terlihat tak ramai seperti biasanya.

Regina duduk sendirian. Termenung di kursi beton taman, bersebrangan dengan kantin fakultas.

Jam 2 siang tadi dia bimbingan dan lagi-lagi skripsinya penuh revisi, sampai-sampai dosen pembimbingnya pun merasa lelah.

"Kamu itu niat lulus gak, Regina? Udah tiga kali pertemuan tapi mentok di BAB 4 terus. Kalau kaya gini saya bisa angkat tangan liat kamu."

Air mata itu kembali mengalir saat mengingat penuturan dospemnya siang tadi. Dia tahu ini semua kesalahannya. Dosennya pun sudah memberi masukan yang entah kenapa tak berdampak apa-apa pada skripsinya itu.

"Gue sebego itu, ya?" Lirihnya sambil mengusap air mata yang tak mau berhenti.

Fokusnya jadi terbagi antara kuliah, kerja dan kehidupannya yang terasa berantakan. Belum lagi, kemarin Mama menelpon berkata bahwa Oma harus di opname dan akan menjalankan operasi.

Regina tahu bahwa itu pesan tersirat kalau Mama sedang membutuhkan banyak uang. Karena jujur saja, di kampung sana hanya ekonomi Mama yang dijadikan tempat bersandar oleh keluarga besar.

Regina rasanya ingin berteriak sekencang mungkin, melepaskan semua beban penatnya.

Dia lelah.

Karena tempat itu sepi, mudah untuk Regina menyakiti dirinya sendiri. Dia memukul kepalanya berkali-kali dengan tangis yang tertahan dan terasa menyesakkan.

"Gue capek. Gue capek.." begitu gumamnya.

Tidak ada satu orang pun yang menangkap kejadian itu. Seakan dunia abai dengan rasa sakitnya.

Merasa belum puas, dia berlalu segera pulang ke kosan. Melampiaskan rasa sakitnya yang selama setahun ini sudah mulai membaik karena adanya Haga. Tetapi, dia sadar bahwa bergantung pada Haga adalah tindakan bodoh.

**

Pukul 2 dini hari perempuan itu masih terjaga. Kamar kosannya gelap, hanya diterangi lampu tidur yang tak seberapa.

Dia duduk terpojok di sisi kasur dengan keadaan rambut tak beraturan. Matanya sangat sembab karena hampir 7 jam menangis.

Di lantai berceceran bercak darah. Untuk pertama kali setelah setahun dia melakukan self harm lagi.

Regina tahu itu tindakan bodoh, tapi hanya dengan itu dia bisa merasa tenang, bisa melepaskan rasa semua sakit yang pernah dia alami.

Apakah tangannya terasa sakit? Tentu saja. Namun, rasa sakit itu tak seberapa dengan rasa sakit yang ada di hatinya.

Rasanya, dia tak mau memikirkan hidupnya ini lagi. Dia tak mau melanjutkan skripsi. Dia tak mau bekerja setiap hari. Dia tak mau memikirkan sakit yang pernah Harfi beri. Dia tak mau berpikir untuk bagaimana menjadi pantas.

Dia tak mau.

Dia hanya ingin tenang.

"AKHHHHGG ANJING!"

Saat ini air mata itu terasa kering, sudah tak mau keluar atau malah sudah habis.

**

Beberapa hari setelahnya, Regina kembali memakai baju atau kemeja lengan panjang. Bahkan, saat bekerja pun dia memakai sweater.

Ada beberapa orang disekitarnya yang bertanya mengapa ditengah hari terik ini dia selalu memakai pakaian tertutup. Alasannya karena sedang tak enak badan.

Haga pun percaya. Amelia yang menjadi temen dekatnya sekarang pun percaya. Susanti teman akrabnya di kelas juga percaya.

Satu orang yang tak percaya dan dia saat ini sedang duduk di pojok cafe, memantau kegiatan Regina yang sedang bekerja.

Dinda sudah bertahan di cafe ini hampir 3 jam hanya untuk menunggu Regina selesai bekerja. Dia tahu sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja.

Kecurigaan itu menambah saat beberapa kali dia memergoki Regina memakai baju lengan panjang. Sesekali perempuan itu menggaruk lengannya.

Tepat pukul setengah sebelas malam cafe tutup. Dinda mentitah sahabatnya itu untuk ke mobilnya setelah closing.

"Ngapain sih nungguin gue sampe hampir lima jam. Kurang kerjaan banget lo," dumel Regina saat sudah masuk mobil. Dia mulai memasang seatbelt.

Terdengar helaan nafas dari Dinda. Perempuan itu menatap lurus jalanan, dia masih enggan menjalankan mobilnya.

"Kenapa lo? Lagi ada masalah?" Tanya Regina.

Sumpah, Dinda sangat muak dengan sifat Regina yang ini. Pura-pura terlihat baik.

"Gue muak banget liat akting lo. Jelek." Balas Dinda tanpa menoleh.

Regina mengernyitkan dahi. "Apaan sih? Gak jelas lo."

Kali ini perempuan berambut sebahu itu menoleh, menatap tajam Regina. "Kita kenal bukan setahun dua tahun ya, Re. Lo masih gak mau berbagi cerita lo sama gue?"

Regina mendengus. Dia menggaruk lengannya yang terasa gatal, padahal semalam sudah dia beri salep. Hal itu tak luput dari pandangan mata Dinda.

"Ayo balik, dah. Ngantuk nih gue."

Dinda berdecak kesal. Ditariknya salah satu lengan Regina, menyibak lengan baju perempuan tersebut.

Ada banyak handsaplast yang tertempel di lengan itu. Beberapa bagian yang tak tertutup nampak tergores dan luka itu masih baru.

"Ini? Ini yang lo tutupin?" Kata Dinda emosi sambil menunjukkan lengan itu pada si empunya.

Regina sendiri tak bisa membalas. Dia hanya mencoba melarikan tatapan matanya dari Dinda. Dia tak mau menangis saat ini, apalagi di depan perempuan itu.

"Lo kenapa, sih? Kenapa kayak gini? Kenapa gak bagi ke gue?"

Regina menarik lengannya, kembali menyembunyikan luka-luka itu di balik lengan baju. Mulutnya enggan memberikan penjelasan apa pun.

"Gue udah tenang setahun ini lo gak balik self harm karena Haga. Tapi kenapa sekarang gini lagi, Re? Dia nyakitin lo?" Suara Dinda melemah, perempuan itu menunjukkan rasa frustasinya.

Regina membuang muka. Memilih menatap selasar cafe yang sudah gelap gulita.

"Kasih tau gue kalau dia emang nyakitin lo, biar gue yang bales,"

"Gak perlu."

"Terus kenapa sih, Re?" Dinda benar-benar frustasi. Belakangan dia tenang walaupun Regina tak bercerita apa pun padanya karena dia tahu ada Haga tempat perempuan itu berkeluh kesah.

"Gue capek, Din ..." bisik Regina.

"Rasanya pengen mati tiap waktu."

***

Vote dong 😔

Hidden MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang