0.19

513 35 13
                                    

Sudah 2 bulan terlewati, Regina mulai kembali membangun semangat hidupnya. Perlahan-lahan dia mulai bangkit, mengatur ulang hidupnya yang sempat berantakan.

Dengan bantuan Dinda, dia bisa melakukan itu semua. Perempuan itu selalu ada disisinya dan terus meminta maaf karena belum bisa memberi hukuman yang setimpal untuk Gunawan.

"Gak pa-pa, Din, gue cuma pengen lupain semua aja. Gue gak mau ingat-ingat lagi, masalah dia dihukum apa engga gue udah bodoamat. Selagi dia gak ada diradar hidup gue, gue ngerasa aman." Begitu katanya.

Benar, waktu terus berjalan, dunia tidak akan berpusat padanya kalau terus di tempat yang sama. Masih ada Mama yang harus dia bahagiakan, bukan?

"Jadi, apa planning lo sekarang? Mau coba buka usaha aja?"

Siang itu Dinda mampir ke kostan yang baru saja dia tinggali selama sebulan. Karena masalah finansial, dia tak bisa terus tinggal di apartemen yang sewanya bisa menguras tabungan.

"Gue gak ahli masalah perdagangan. Mau nyoba ngelamar ke beberapa perusahaan lagi,"

"Lo yakin?" Dinda merasa agak sedikit khawatir. Mental perempuan itu belum sembuh total.

Regina tertawa pelan dan sedikit terdengar lirih. "Gue gak bisa terus-terusan hidup dalam traumakan? Gue butuh pemasukan, Din, berarti gue harus kerja."

"Iya sih, tapi buat sekarang gue bisa kok bantuin lo,"

Regina menggeleng. "Kali ini aja biarin gue berusaha sendiri. Lo udah terlalu banyak ngebantu dan itu udah lebih dari cukup kok. Makasih, ya?"

Dia sudah terlatih dengan semua rasa sakit selama ini, toh dia akan kembali baik-baik saja. Semua akan kembali normal. Dia hanya cukup melupakan apa yang pernah terjadi.

**

Jum'at setelah makan siang akhirnya dia mendapat kesempatan interview dengan salah satu perusahaan. Bukan perusahaan besar, tapi sudah lumayan berkembang.

Dia sedikit bingung saat sampai di salah satu kafe tempat interview akan diadakan karena hanya dia satu-satunya kandidat yang ditunjuk.

"Mbak Regina, ya?" Tiba-tiba saja seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja slimfit biru tua mendatanginya.

"Iya, betul."

"Ah, saya HRD yang akan menginterview, saya Ali. Bisa ikut saya ke ruangan sana, soalnya ownernya juga ikut hari ini," sambil menunjuk ruangan kaca yang ada di kafe tersebut.

Regina mengangguk dan melangkah mengikuti pria bernama Ali tersebut. Saat membuka ruangan, sejuknya AC membuat Regina sedikit lebih rileks.

Sepertinya ini termasuk ruangan VIP, karena ada beberapa orang didalam sini yang bukan dari kalangan orang biasa.

"Sebelah sini, Mbak." Ali menunjuk meja yang akan mereka duduki.

Langkahnya terhenti saat melihat siapa yang tengah menunggu disana. Pria itu sedang membaca map yang pastinya adalah biodata dirinya.

"Haga," gumamnya.

Pria itu menoleh, dia tak nampak terkejut. Malah tersenyum dengan amat sangat manis.

"Ini Pak yang akan interview. Mbak Regina, silahkan duduk!"

Rasanya langkah itu berat dan tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Bagaimana bisa dari berjuta-juta penduduk Indonesia, dia kembali dipertemukan dengan orang dimasa lalunya.

Orang yang dia tolak cintanya.

"Kamu gak mau duduk, Regina?"

Bahkan suara itu masih sama. Cara bicaranya yang lembut juga masih sama. Bagaimana bisa takdir begitu keren merancangnya?

"Ah sorry, saya terlambat."

Lalu, suara satu lagi menginterupsi. Ini lebih dahsyat dari sebelumnya.

Nafasnya jadi lebih memburu. Harfi ada disana. Menjadi bagian dari permainan takdir hari ini.

Bagaimana bisa orang yang menolak cinta dan orang yang dia tolak cintanya ada di tempat yang sama? Mengarah ke dirinya?

"Ini Pak Harfi, beliau pemegang saham terbesar di perusahaan kami saat ini. Beliau juga akan ikut menginterview Mbak Regina hari ini," suara Ali seperti tenggelam karena telinganya hanya berisi suara pikirannya sendiri.

Bagaimana bisa?

***



13 Juni 2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hidden MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang