0.4

1K 62 1
                                    

Dua minggu setelah insiden dirinya dan Dinda tak tegur sapa, Regina menjadi lebih pendiam dari biasanya. Susanti yang banyak omong itu pun jadi sedikit sungkan untuk mengajak bicara.

Regina seperti manusia setengah bernyawa. Dia hanya pergi ke kampus, pergi bekerja, lalu pulang untuk tidur. Hari-hari yang sangat membosankan dan kepala yang dipenuhi berbagai hal.

Tetapi hari itu, sedikit berbeda.

Seperti biasa, sekitar pukul 4 sore dia akan bekerja part time disalah satu restoran Jepang sebagai waitress.

Saat itu entah kenapa restoran lumayan ramai, padahal baru hari Kamis. Biasanya akan ramai pada hari-hari weekend saja.

"Meja nomor 2 ya." Regina mengangguk dan segera membawa pesanan itu ke meja yang sesuai.

Dia melangkah ringan menuju pojok restoran tempat si pemesan. Namun, langkahnya terhenti begitu saja.

"Silahkan, Pak." Seorang waiter menuntun 2 orang ke salah satu meja kosong. Mereka melewati Regina begitu saja.

Entah kenapa pasokan oksigen terasa menipis masuk ke paru-parunya. Melihat satu orang diantara dua pria barusan. Dia belum minus, silinder apalagi buta. Laki-laki yang sudah setahun lebih dia kubur dalam memori buruk, benar nyata ada di satu ruangan yang sama dengannya.

"Re, jalan!" Dia tersentak saat teman sejawatnya menegur. Cepat dia berjalan untuk mengantarkan pesanan.

Jantungnya bertalu begitu cepat, tangannya jadi dingin. Ketika meletakkan menu ke atas meja, tangannya tremor.

"Mbak gapapa?" Sampai salah satu dari pelanggan bertanya dengan raut khawatir.

Regina memaksakan senyumnya. "Gapapa kak. Selamat menikmati." Ucapnya, lalu undur diri.

Cepat dia berjalan menuju balik kasir dan terduduk dengan pandangan kosong. Beberapa orang disana menatapnya bingung.

"Lo kenapa, Re? Sakit? Pucat gitu mukanya," itu tanya Jindan, seorang cook helper yang melongokan kepalanya dari sekat pembatas dapur.

Regina tak menjawab, tremor ditangannya semakin menjadi. Bahkan bulir-bulir keringat dingin keluar.

Tak lama Mas Bayu datang, dia leader diantara semua pramusaji disini.

"Lo kenapa, Re?" Laki-laki berusia 30 tahun itu ikut berjongkok di depannya.

"Pusing aja, Mas." Alibinya.

"Duh, gimana ya?" Bayu menggaruk kepalanya. "Istirahat 10 menit aja, gapapa-kan? Soalnya jam kerja lo masih ada 3 jam lagi, Re. Restoran juga lagi rame, gue gak bisa ngizinin lo pulang."

"Iya, Mas." Regina hanya mengiyakan. Setelahnya Bayu kembali ke depan.

Isi kepalanya berkecamuk lagi dan tak jauh-jauh sebabnya karena Harfi. Laki-laki itu belum benar-benar seratus persen hilang dari radarnya.

Bukannya Dinda pernah bilang kalau laki-laki itu sudah tidak di Jakarta? Tapi, kenapa sekarang dia malah ada disini, ditempat kerjanya?

**

Berkali-kali Regina menghela nafas. Walau sudah tenang, tapi karena sosok itu masih ada di sana, di meja nomor 17, dia masih sedikit gelisah.

Bohong kalau laki-laki itu tak menyadarinya. Dia berlalu lalang dari tadi. Tapi bagus, setidaknya laki-laki itu tak mengajaknya berinteraksi.

"Mbak?" Langkahnya terhenti, suara itu ternyata belum berubah, masih sama. Karena dia tahu hanya dia yang barusan melewati meja nomor 17 itu, sudah pasti laki-laki itu menginterupsinya.

Mau tak mau, Regina berbalik dan menghampiri. "Iya, ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Regina menunggu, karena merasa cukup lama laki-laki itu terdiam menatapnya.

"Saya minta chicken karage sama air mineral satu lagi."

Regina segera mengiyakan, lantas berlalu begitu saja. Ternyata walau sudah setahun lebih, berada di dekat Harfi masih sama mendebarkannya seperti dulu.

"Tambahan meja nomor 17, Nggi, chicken karage sama air mineral." Sebutnya pada Anggi, kasir yang sedang berjaga.

"Oke."

Karena sejauh ini pelanggan tak ada yang datang lagi, Regina diam menatap orang-orang yang sibuk menyantap makanan di sore hari. Dia pegang perutnya, dia ingat terakhir makan hanya saat sarapan jam sembilan.

Enak sekali jadi orang banyak duit, ya.

"Re?" Cica yang baru selesai meletakkan nampan, menepuk pundaknya pelan. "Lihat deh," tangan mungil perempuan itu menunjuk samar ke arah jam sembilan.

"Apaan?" Tanya Regina bingung, tapi sedikit paham karena Cica menunjuk ke arah meja nomor 17.

"Itu, cocok kali ya dijadiin sugar daddy," ucapnya yang terang-terangan membicarakan Harfi.

Nafas Regina sedikit tercekat. "Terlalu muda." Balasnya seadanya, berusaha bersikap wajar.

Cica memberengut. "Ish, enak kali ya kerja kantoran kalau atasannya model begitu. Gue mah pasti betah 24 jam di kantor."

Regina menghela nafas. Dalam hati berkata, lo gak tau aja gimana kerasnya hati tu cowok. Tetapi, yang keluar hanya gelengan tak habis pikir.

"Di masa depan pasti lo bakal jadi anak kantoran juga, Re. Enak ya yang kuliah," entahlah, rasanya seperti Cica sedang mengadu nasib.

Padahal, yang dia lalui saat ini juga sangat membuat tertatih-tatih. Kalau bisa sih Regina mintanya terlahir jadi anak konglomerat, hanya pikirkan kuliah tanpa harus memutar otak mencari uang.

"Chicken karage sama air mineral, meja nomor 17," kata Anggi meletakkan pesanan.

Saat hendak mengambil, Cica langsung menyerobot. "Pesanannya om-om ganteng itukan? Gue aja ya yang nganterin, hehe."

Tanpa bisa Regina cegah, Cica sudah berlalu dengan semangat mengantarkan pesanan Harfi. Regina pun tak mau ambil pusing. Malah bagus dia tak harus berhadapan dengan lelaki itu lagi.

Selang 5 menit kemudian Cica menghampirinya, berbisik pelan karena Mas Bayu sedang berkeliling menatap para juniornya.

"Masa dia nanyain lo sih, Re." Kata Cica.

"Siapa?" Bisik Regina bingung.

Cica lebih mendekatkan bibirnya ke telinga Regina. "Cowok yang meja nomor 17. Katanya, waitress yang tadi mana ya? Agak kaget dong gue."

Regina meringis, diikuti dengan denyut jantungnya yang membuat getaran aneh di tubuhnya. Apa-apaan laki-laki itu menanyakannya?

"Terus?"

Cica memicingkan matanya, seperti perempuan penggosip handal. "Gue jawab ada kok pak, terus dia bilang apa lo tau?"

Regina gregetan sendiri. Cica ini suka sekali mengulur-ngulur cerita dan membuat penasaran, padahal di depan sana Mas Bayu sudah seperti sipir penjara.

"Mukanya pucet, bilangin sama dia buat minum obat. Kayanya lagi sakit, gitu anjirr!"

FAKK

Regina mengumpat keras dalam hati.

***

Hidden MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang