Hari-hari berlanjut sebagaimana mestinya. Ratusan pesan dan panggilan tak terjawab dari Haga membombardir ponselnya. Regina abai.
Jujur, ada sebagian hatinya merasa sakit melihat Haga memperlakukan perempuan lain seperti laki-laki itu memperlakukannya. Memang tak ada yang salah, malah baik. Tetapi, tak bisa dielakkan, dia merasa cemburu.
Walau tak jatuh hati.
Berkali-kali dia menghela nafas dan menggelengkan kepala pelan, sebab kepalanya terasa seperti mengawang. Sudah hampir dua hari dia selalu tidur larut, entah apa yang berkecamuk di kepala itu. Seperti terasa penuh.
"Baik kak, ditunggu ya pesanannya," katanya ramah pada pelanggan terakhir.
Saat ingin berjongkok untuk sekedar minum, satu pembeli datang lagi. Dia tertegun saat yang datang itu adalah Haga.
Laki-laki itu makin tampan dengan pakaian kasualnya. Rambutnya jauh lebih pendek dari yang Regina lihat sebelumnya. Dengan siapa dia pergi bercukur? Biasanya Reginalah yang selalu menemani kalau lelaki itu ingin potong rambut.
Tiba-tiba sakit di hatinya muncul kembali. Entah yang dia lihat waktu itu benar atau cuma dari pandangannya saja.
"Pesan apa kak?" Tanya Regina formal, mengesampingkan bahwa dia mengenal baik laki-laki itu.
Haga terdiam cukup lama, dia menatap tepat ke mata Regina. Seakan menyiratkan sesuatu yang tak bisa dipahami begitu saja.
"Kopi."
Regina mengangguk paham. "Kopi apa, kak? Kita punya banyak varian,"
"Yang pahit."
Bibir Regina sudah kaku rasanya tersenyum terus karena diharuskan. Melihat jawaban yg tidak spesifik dari Haga sedikit membuatnya jengkel.
"Baik kak. Apakah espresso atau americano? Ada macchiato juga. Bisa dipilih, kak."
"Yang dingin."
Regina menggigit pipi dalamnya menahan kesal. Kalau saja saat ini mereka tidak sedang perang dingin, mungkin Regina tak segan mengeluarkan ekspresi sinis.
Lagi, Regina mengangguk. "Bisa sebutkan spesifik kopinya varian apa, kak? Soalnya di belakang ada antrian lagi," katanya berusaha ramah.
"Americano."
"Baik, kak. Pembayarannya cash apa debit?"
"Cash."
Regina segera mencatat pesanan milik Haga. Lalu, menyebutkan nominal agar laki-laki ini segera pergi dari hadapannya.
Setelah membayar, Haga pergi ke pojok cafe untuk menunggu pesanannya. Hatinya bergejolak melihat Regina yang sedikit berubah. Sifat dan fisiknya. Perempuan itu sedikit lebih kurus.
Apa dia sakit, ya? Batin Haga.
**
Setelah closing dan menutup cafe bersama rekannya yang lain, Regina berdiri di pelantaran cafe, mengotak atik ponselnya guna memesan ojol.
Tak lama sebuah motor matic menghampirinya. Bukan ojol yang dia pesan, tapi lelaki yang tadi siang membuatnya dongkol setengah mati.
Dia datang lagi.
"Ayo aku antar."
Regina menghela nafas. Dia menggeleng. "Gue udah pesen ojol. 2 menit lagi sampai,"
Haga mengangguk paham. Dia memajukan motornya sebentar, lalu menunggu. Regina bingung, siapa yang lelaki itu tunggu?
"Mbak Regina, ya?" Pandangannya beralih pada bapak-bapak berjaket hijau yang mendatanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Memories
ChickLitRere jatuh cinta pada Harfi. Kata orang, cinta membuat seseorang jadi kurang waras, ternyata benar. Rere gelap mata, dia terayu sentuhan hangat Harfi malam itu. Mereka sama-sama menjadi gila dan lupa dunia. Tetapi, Harfi sadar ini semua salah. Dia m...