Mei, 2020
Regina menatap podium di depan sana dengan mata berkaca-kaca. Setengah jam yang lalu dia berjalan ke sana untuk mengambil gelar secara resmi yang sudah mati-matian empat tahun ini dia usahakan.
Setelah tertinggal dengan beberapa teman angkatannya yang sudah wisuda duluan juli tahun lalu, akhirnya dia meraih gelar itu juga.
Pikirannya menjadi flashback ke masa-masa dia hampir menyerah untuk kuliah. Melihat skripsinya yang selalu mendapat revisi. Namun, dengan bangga dosen pembimbingnya yang siang itu tak bisa hadir secara lewat pesan WhatsApp mengucapkan selamat.
Regina benar-benar merasa terharu akhirnya dosen itu mengapresiasi hasilnya. Dulu, Regina sempat berpikir kalau Pak Hawiyah membencinya dan mencap dirinya mahasiswi paling bodoh sekampus atau bahkan sedunia.
Rasanya seperti ada beban yang dicabut dari pundaknya, walaupun beban baru seperti mencari pekerjaan akan menimpanya.
Regina menggeleng. Mari lupakan itu sejenak. Biarkan dia merasakan euforia ini sebentar saja. Biarkan dia menikmati rasa lelahnya yang sudah terbayar tunai.
Setelah sesi formal selesai, semua orang berhamburan menemui keluarga atau apa punlah yang mereka mau.
Regina sendiri berjalan menuju Dinda yang sudah melambai-lambai gembira, di sampingnya ada Mama yang terus mengusap matanya karena menangis. Dia sangat tahu bagaimana perjuangan putri semata wayangnya.
Mama bela-belain datang ke Jakarta hanya karena ingin menyaksikan momen berharga ini. Beliau tak mau melewatkan. Mama ingin mengucapkan beribu kata terimakasih karena Regina mampu kuat sampai sekarang.
"AKU SARJANA!" Pekik Regina bahagia. Dia segera memeluk Mama dan Dinda bergantian. Baginya, dua orang inilah yang paling berjasa dalam hidupnya. Ada sih, satu lagi. Tapi sudah jarang berkabar hampir 5 bulan lamanya.
"Selamat nyettt akhirnya pakai toga." Kata Dinda yang tanpa malu memakai panggilan akrab mereka. Regina mencebik sinis.
"Jangan nyet jugalah anjir. Hargain dong wisudawan ini. Susah loh ngambil sarjananya."
Dinda mencibir, tapi kembali tertawa.
"Terimakasih ya, Re, udah bisa sampai disini. Maafin Mama yang belum maksimal bantu kamu," kata Mama sebelum akhirnya menangis lagi.
Regina tersenyum lembut. Diusapnya lengan Mamanya dengan sayang. Dia melepaskan topi toganya dan memasangkan pada Mama.
"Biar berasa ke 29 tahun yang lalu, Ma." Katanya nyengir melihat ekspresi bingung Mama.
Dinda tertawa heboh. "Ga nyangka Mama tua banget, wisuda aja 29 tahun lalu."
"Kamu ya, Din." Rengut Mama. Tapi tak urung merasa haru.
"Ayo kita makan-makan, aku yang teraktir." Kata Dinda masih dengan semangat empat lima.
"Anjay, anak kantoran gaji dua digit nih." Ledek Regina.
**
Nyatanya realita selesai kuliah lebih memusingkan. Memang, Regina sudah berkali-kali bekerja sambil kuliah. Tetapi, kenapa rasanya lebih sulit mencari pekerjaan setelah sarjana ketimbang saat masih kuliah?
Dia hampir gila rasanya setiap hari memasukkan lamaran ke semua perusahaan yang membuka lowongan. Apakah karena nilai IPKnya yang hanya rata-rata? Tetapi, bagaimana pun dia juga memasukkan semua pengalaman kerja yang dipunya. Apakah itu belum sesuai standar?
"Sabar elah, baru juga dua bulan nganggur. Ada diluar sana yang sampai setahun baru dapat kerja," kata Dinda siang itu. Perempuan itu menaraktirnya makan Korean BBQ karena awal bulan.
Regina memberengut. Memasukkan satu slice daging yang dibungkus dengan selada ke mulutnya dengan brutal.
"Lo cuma butuh dua minggu dapat kerja." Ucapnya setelah menelan makanan itu.
Dinda berdecak. "Nasib orang beda-beda, nyet. Walaupun kita udah sahabatan lama bukan berarti nasib juga sama."
Regina menghentakkan sumpitnya. "Tapi gue pengen kerja. Pengen punya duit banyak juga." Misuhnya. Benar-benar terlihat frustasi.
Dinda menggeleng tak habis pikir. Dia kembali sibuk membakar potongan daging. "Gue jadi ngeri liat lo se-hopeless ini. Ntar deh gue tanyain temen, siapa tau ada loker dari mereka."
Mata Regina berbinar. "Nah itu dia yang gue tungguin. Orang dalam." Katanya, lalu cengengesan.
Dinda menghela nafas. "Sebenarnya ada sih orang dalam yang pasti bisa masukin, tapi jangan, deh."
"Loh kenapa? Dia butuh dibayar? Gua mau nih," kata Regina antusias.
"Gak, gak lupain aja. Noh, makan yang banyak." Dinda menggeleng. Opsi itu benar-benar gila kalau sampai dilakukan.
"Ih, apaan sih? Lo parah banget, udah tau gue butuh banget kerjaan, tapi pura-pura bego."
Dinda berdecak kembali. Sepertinya tingkah tantrum Regina karena mencari kerja membuatnya selalu berdecak. "Gue masih waras buat gak nawarin ini. Mending lo makan aja dari pada ntar gue kasih tau jadi ngilangin selara makan lo."
Regina mendesis sinis. Apa pun itu, kalau Dinda sudah mentitah seperti itu memang baiknya dia patuhi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Memories
Genç Kız EdebiyatıRere jatuh cinta pada Harfi. Kata orang, cinta membuat seseorang jadi kurang waras, ternyata benar. Rere gelap mata, dia terayu sentuhan hangat Harfi malam itu. Mereka sama-sama menjadi gila dan lupa dunia. Tetapi, Harfi sadar ini semua salah. Dia m...