Empat

25 4 0
                                    

Satu bulan berlalu sejak Hannie dan Sean berkencan untuk kedua kalinya. Prospek hubungan mereka berjalan dengan baik. Beberapa kali Sean mengajak Hannie berkunjung ke tempatnya bekerja jika pria itu sedang senggang, dan Sean juga selalu menyempatkan diri untuk menjemput Hannie sepulang bekerja. Paling tidak, kekosongan yang timbul akibat kematian Joshy perlahan sudah mulai terisi kembali berkat kehadiran Sean.

Hubungan Hannie dengan kedua orangtuanya juga mengalami sedikit kemajuan. Dia sudah memenuhi undangan makan malam yang dikirimkan oleh Ibunya. Meluangkan akhir pekannya untuk terbang ke Gold Coast dan menikmati makan malam di rumah keluarga bersama dengan keluarga besar Kim---pria yang menurut Ibunya sangat cocok untuk bersanding dengan Hannie. Pria yang sialnya, memiliki tatapan sayu khas anak-anak seperti Joshy. Dan itu juga salah satu alasan Hannie menolak mentah-mentah ide perjodohan tersebut.

Rabu pagi Jihan meminta Hannie untuk datang menemuinya di kedai yang ada dekat dari kantor Jihan. Dia bersikeras bahwa dia ingin menyampaikan kabar yang sangat baik. Dan Hannie tahu, bahkan sebelum dia bisa melihat raut wajah adiknya, bahwa kabar baik itu pasti berkaitan dengan hubungan asmaranya bersama Sony.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, tepat pukul dua belas siang Hannie berkendara ke kedai yang sudah disebutkan oleh adiknya. Dia sengaja memarkirkan mobilnya dekat pintu masuk, hanya untuk berjaga-jaga jika pembicaraannya dengan Jihan nanti tidak berjalan mulus, dia akan mencari alasan untuk bisa kabur dari kedai itu secepatnya.

Jihan melambaikan tangan bersemangat saat Hannie baru saja melangkahi pintu masuk kedai. Hannie menggeleng dan tersenyum bersamaan. Adiknya itu memang selalu pandai membuat semua orang di sekitarnya tersenyum. Pribadi yang sangat kontras dengannya.

"Aku sudah memesan untukmu... kue krim karamel dan juga kopi..."  Ucap Jihan saat Hannie menarik kursi untuknya sendiri.

"Terima kasih,"  Hannie tersenyum. Dia meletakkan tas dan juga ponselnya ke atas meja, menopang dagu dengan satu tangan, memasang wajah berpura-pura tertarik pada apa yang akan disampaikan oleh adiknya. "Jadi, apa hal yang ingin sekali kau bicarakan?"

Jihan tertawa. Dia meraih minumannya dan menyesapnya sesaat lalu mencari-cari di dalam tasnya, sebuah kotak persegi panjang berukuran cukup besar, dengan warna putih gradasi merah muda, dan juga pita besar di tutupnya. "Buka saja... "

Hannie menerima kotak yang diulurkan padanya. Dia melepaskan simpul pita pada tutupnya, membuka penutup kotak dan mendapati sebuah kain berbahan sangat halus dengan banyak sekali mutiara di pinggiran kainnya.

Dan seolah tidak bisa menahan diri lebih lama lagi, Jihan menjerit senang sambil menepuk kedua tangannya sendiri. "Sony melamarku dua minggu lalu!"

Hannie mengeluarkan kain berwarna putih dari dalam kotak dan menyentuhnya. Rasanya seperti menyentuh air. Sangat sangat halus, dan sangat licin. Kain tersebut terasa jatuh di tangannya yang putih. Dia mengangkat wajah, menampilkan senyuman tulus. "Bagus sekali... tapi, kenapa baru memberitahuku sekarang?"

"Aku ingin ini menjadi kejutan,"  Jihan tertawa. "Aku juga belum memberitahu Ibu dan Ayah soal ini. Aku harus memberitahumu lebih dulu, kan?!"

Hannie tidak bisa berpura-pura tidak merasa iri pada Jihan. Hati kecilnya sedikit tercubit, pada kenyataan bahwa Jihan, yang baru berusia dua puluh tujuh, akan menikah lebih dulu. Dia dilangkahi... yah... tapi, bukan salah adiknya kalau hidupnya jauh lebih baik dan teratur daripada Hannie, kan?!

"Dan ngomong-ngomong soal pengiring pengantin, kau harus mengajak teman kencanmu yang kau ceritakan waktu itu!"  Jihan mengubah nada bicaranya menjadi mengancam. "Dia harus menjadi teman kencanmu juga di acara pernikahanku. Atau..."

"Atau apa?"

"Atau aku akan meminta Sony untuk meminta temannya yang pernah kuceritakan padamu!"

"Ap?! No way!"  Mereka berdua bertukar pandang. Jihan dengan pelototan garang dan telunjuknya teracung dengan gaya mengancam, sementara Hannie dengan wajah frustasi. Dia tidak mungkin meminta Sean untuk menemaninya selama seharian penuh di pesta pernikahan adiknya, kan?! Lagipula, memikirkan tentang bagaimana caranya bicara dengan Sean tentang hal tersebut saja sudah membuat perutnya mulas.

Setelah pertemuan singkat disertai beberapa ancaman dengan Jihan, Hannie menyetir kembali ke kantor. Dia berusaha meyakinkan adiknya bahwa dia senang luar biasa menerima kabar tersebut, dan bahwa dia harus kembali ke kantor secepatnya karena ada pekerjaan yang harus segera dia selesaikan.

Tiga panggilan tidak terjawab dari Sean menyita perhatiannya. Sambil membereskan meja kerjanya, Hannie menghubungi balik Sean dan panggilannya dijawab pada dering ketiga.

"Hai... maaf aku tidak mengecek ponselku karena tadi ada sedikit urusan. Ada apa?!"

Sean tertawa dari seberang telpon. "Apa kau senggang hari ini?"

"Ya, kurasa... aku akan pulang lebih awal."

"Bagus,"  ucap Sean puas. "Aku akan mengajakmu pergi ke satu tempat. Kebetulan malam ini cerah, aku sudah mengecek ramalan cuaca."

"Suatu tempat? Ke mana?"

"Umm..."  Sean berpikir sebentar, "melihat bintang. Aku akan mengajakmu melihat West Coast dari suatu tempat yang luar biasa."  Dia terdiam sebentar lalu melanjutkan, "apa kau membawa mobil?"

"Ya..."

"Bagaimana kalau kita bertemu di kantorku dan mobilmu diparkir di kantorku?"

"Ide yang bagus..."

Mereka akan bertemu pukul tujuh. Sean mengatakan dia tidak sabar untuk bertemu Hannie---lagi. Sebelum memutus sambungan telpon, Hannie menyebut nama Sean diluar kesadaran dan sedikit terkejut saat Sean bicara, "aku benar-benar ingin bertemu denganmu lagi, Han..."

Dan sambungan telpon benar-benar diputus setelahnya.

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang