Tiga Belas

14 2 0
                                    

Hannie diizinkan pulang lima hari kemudian, setelah dokter memastikan bahwa kondisinya sudah benar-benar pulih.

Saat ini dia duduk di kursi penumpang sedan mewah milik Covey Sean, memandang diam keluar jendela sementara pikirannya sibuk berkelana tidak tentu arah. Dari sudut mata dia bisa melihat Sean sesekali mengerutkan kening atau bergumam tanpa suara selagi mengemudi. Pria itu tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat sulit, dan Hannie tidak ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dia juga enggan untuk bertanya.

Mobil membelok ke kanan, melewati gerbang lengkung perumahan tempat Hannie tinggal. Hannie menghembuskan napas. Akhirnya dia bisa kembali ke flatnya, ke rumahnya yang aman, tempatnya bersembunyi dari segala kesakitan yang dia rasakan.

Dia sudah membuat keputusan, bahkan saat dia masih berada di rumah sakit. Dia sudah memikirkannya matang-matang, berulang kali memutar adegan di restoran di dalam pikirannya, dan keputusannya tidak akan berubah. Dia hanya berharap, Sean tidak menahannya ataupun menyesali keputusannya.

Mereka berhenti di depan flat milik Hannie, flat berlantai dua dengan dinding luar berwarna putih dan merah muda. Bangunan yang sangat dia rindukan. Tanpa berlama-lama, Hannie melepaskan kaitan sabuk pengaman dari tubuhnya, membuka pintu mobil, dan saat dia akan keluar, satu tangan Sean terjulur di udara menahannya untuk tetap di tempatnya. Hannie mengerang frustasi.

"Kita perlu bicara!"  Nada memerintah Sean membuat Hannie tidak bisa menolak. Dia kembali menutup pintu mobil dan menyandarkan tubuhnya pada kursi penumpang, masih tetap menolak untuk memandang Sean. "Dengar, Hannie... aku minta maaf. Aku sungguh-sungguh minta maaf..."  Sean memulai.

Hannie menganggukkan kepala masih tetap memandang lurus ke depan, memperhatikan beberapa tetangganya yang sedang menyiram tanaman atau mencuci mobil di depan rumah mereka.

"Semua yang sudah kukatakan, semua hal yang kuperbuat. Aku menyesal..."  Lagi, Hannie hanya mengangguk. "Kalau ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus semua kesalahanku..."

Kali ini Hannie menoleh dan menatap Sean. Dia memiringkan kepala, raut wajahnya tidak dapat ditebak. "Apa yang kau inginkan, Sean?!"

"Aku?!"  Sean membeo, sedikit terkejut karena pertanyaan Hannie yang tiba-tiba dan diluar dugaan. "Apa... aku..."  Pria itu menggantung kalimatnya.

"Kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan soal ini lagi. Itu sebuah kecelakaan. Dan seandainya ada seseorang yang harus disalahkan, itu adalah aku. Kesalahanku lah yang dari awal mengiyakan ajakanmu setelah pesta Jihan... kesalahanku lah, yang menerima semua undanganmu sejak awal. Kesalahanku lah, yang memilih untuk pergi bekerja dengan menaiki kereta bawah tanah hingga akhirnya kita bertemu dan berada dalam takdir yang sangat menyulitkan ini... "

Kedua mata Sean menyipit mendengarnya. "Kau menyesal?"

"Tentu... Sudah jelas, kan?! Aku tidak mungkin berbohong aku tidak menyesal... seharusnya memang dari awal kita tidak berjumpa. Jadi kita tidak perlu berada dalam situasi yang rumit seperti ini... atau paling tidak, kau yang membuat situasi semakin rumit, sementara aku sudah memaafkan bahkan melupakan semuanya..."

Hening...

Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hannie kembali memandang lurus ke depan sementara Sean memandangnya. Kedua tangan pria itu masih berada pada roda kemudi. Sean melakukan hal serupa, menyandarkan tubuhnya sedikit pada kursi sementara tatapannya tidak beralih dari Hannie yang masih enggan menatapnya. Kemudian... Sean tampaknya sudah mengumpulkan tekad yang kuat sebelum dia bicara, "ayo kita menikah..."

Hannie memutar kepalanya cepat hingga dia bersumpah dia akan mematahkan lehernya sendiri. Kedua matanya melebar, kedua alisnya terangkat naik. Dia tidak menduga Sean akan mengatakan hal itu, mengajaknya menikah, diucapkan dengan mudah seolah mereka sedang membicarakan ramalan cuaca esok hari.

"Apa?! Tapi..."

"Ayo kita menikah,"  ulang Sean tidak sabar. "Kita bisa menyiapkan segalanya dari sekarang. Aku akan meminta kedua orangtuaku untuk membantu, dan kau bisa meminta Jihan untuk menjadi pengiring pengantinmu. Kita akan mengadakan pesta tertutup. Tidak akan ada banyak tamu yang diundang sehingga pestanya akan berlangsung cepat. Kau bisa keluar dari pekerjaanmu karena aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu. Dan kau bisa tinggal di rumahku. Kita menikah... "  Ulang Sean mutlak. Pandangannya berapi-api. Sementara itu Hannie merasa organ dalamnya dibetot sedemikian kuat. Untuk sesaat dia lupa bagaimana caranya bernapas. Kelopak matanya berkedip cepat, telinga dan pikirannya mengulang semua yang baru saja dikatakan Sean.

Pria itu mengajaknya menikah. Pernikahan tertutup. Memintanya untuk keluar dari pekerjaannya, pekerjaannya yang berharga yang sangat sulit dia dapatkan dulu. Pekerjaannya tidak berarti apa-apa bagi pria itu. Batinnya tertawa miris sekaligus mengejek.

"Aku mau keluar..."

"Apa?!"

"Aku mau keluar, Sean... dan kuharap, setelah ini kita berjalan masing-masing. Kuharap setelah ini kau bahagia dengan hidupmu sendiri. Terima kasih untuk semuanya, dan terima kasih atas bantuanmu beberapa hari kemarin. Aku akan mengganti uangmu kemarin sesegera mungkin. Kirimkan nomor rekeningmu, aku akan menggantinya sebelum akhir bulan ini."

Sean terlalu terkejut dengan respon dan jawaban yang diberikan oleh Hannie hingga dia tidak menyadari bahwa wanita itu kini sudah keluar dari dalam mobil dan berlari masuk ke dalam rumah, membanting pintu di belakangnya. Sean mengumpat keras, mengejar Hannie dan menggedor pintu depan sambil meneriakkan namanya, mengundang perhatian orang sekitar.

Tapi Hannie tidak menjawab panggilannya, tidak membukakan pintu untuknya, tidak muncul kembali seperti yang dia minta. Berapa lama Sean berdiri di depan pintu, dia sendiri tidak tahu. Satu hal yang dia tahu dan mengerti hanya, bahwa dia telah kalah berperang. Hannie menolak lamarannya, Hannie memilih untuk tidak menerima tawarannya. Dengan pandangan tidak fokus dan bahu sedikit merosot, Sean kembali ke dalam mobil, mengemudikan mobilnya keluar dari perumahan kelas menengah keatas tempat Hannie tinggal.

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang