Enam Belas

31 2 0
                                    

Disini lah Yves Hannie berada. Di dalam mobil, terduduk kaku di kursi pengemudi, jemarinya mencengkeram roda kemudi, tatapannya jatuh pada taman kota yang tidak terlalu ramai pagi itu.

Yves Hannie sudah merapalkan mantra 'kau akan baik-baik saja' sejak kedua kaki kurusnya melangkah meninggalkan pintu apartemen tempatnya tinggal. Dan mantra itu masih terus dia rapalkan, berusaha menghalau kepanikannya sendiri.

Kedua irisnya yang berwarna cokelat madu melirik jam di dashboard. Pukul sepuluh. Lewat satu jam dari undangan yang dia terima. Hannie menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokannya terasa tercekat.

Merapalkan tiga mantra lainnya, Hannie melepaskan sabuk dan beranjak keluar dari dalam mobil lalu mengunci pintu mobil. Dia melakukannya dengan tenang meskipun jantungnya masih berkhianat di balik baju terusan berwarna merah muda yang dia kenakan.

Merah muda... Hannie sengaja memilih warna itu setelah mengingat perkataan Jihan beberapa hari yang lalu, "warna merah muda hanya untuk perempuan. Merah muda warna yang cerah, dan itu menunjukkan semangat, menunjukkan harapan, dan menunjukkan pada dunia bahwa kau baik-baik saja. Bagaimana bisa Sony memilih warna merah muda kalau ternyata anak kami laki-laki, huh?!"

Mengingat kalimat Jihan dan pembelaan Sony atas warna pilihannya membuat Hannie tertawa pelan.

Taman kota selalu menjadi tempat yang Hannie kunjungi di hari libur seperti sekarang. Terkadang dia menghabiskan pagi hari di akhir pekan untuk berolahraga di taman kota, atau sekadar menghirup udara segar. Taman kota selalu membuat perasaan Hannie tenang. Tapi tidak untuk pagi itu.

Semak beri di kanan kirinya menarik perhatian Hannie. Dia menghentikan langkah, hanya untuk menatap semak beri itu lebih lama dari seharusnya. Hannie selalu suka buah beri. Waktu kecil dulu, dia selalu meminta Ibunya membelikan banyak buah beri untuknya setiap kali mereka pergi ke supermarket.

Hannie kembali melangkah menjelajah taman kota lebih dalam. Surat yang diterimanya delapan hari lalu menyebutkan bahwa pengirimnya akan menunggu dia di salah satu bangku taman dekat dengan morning glory. Bagaimana pengirimnya bisa tahu tentang bangku taman dan morning glory, Hannie tidak tahu.

Hannie bisa melihat di kejauhan, morning glory yang tumbuh lebat di depan salah satu bangku taman. Dan di atas bangku tersebut, dikelilingi morning glory, Covey Sean duduk sambil menopang dagu, tatapannya jatuh pada kakinya sendiri yang dibalut sepatu santai bertali warna hitam.

Hannie tahu dia bisa saja pergi dari tempat itu sekarang juga, kembali ke dalam mobil yang akan membawanya kembali ke apartemennya yang nyaman, tempatnya berlindung dari segala kesakitan yang pernah dia rasakan beberapa bulan yang lalu. Tapi sebagian kecil dalam dirinya menolak ide tersebut, sebagian kecil dalam dirinya bahkan memaki diri sendiri. Hannie tahu kesempatan untuk tahu apa yang Covey Sean inginkan hanya terbuka saat itu, di taman kota yang sepi.

Dia masih menghitung dalam hati, menarik-hembuskan napas beberapa kali ketika Sean ikut menghembuskan napas lelah dan mengangkat wajah. Tatapan mereka bertemu. Setelah belasan minggu tidak melihatnya, Hannie baru sadar bahwa iris sekelam malam milik Covey Sean benar-benar mengintimidasi siapapun yang melihatnya. Hannie menelan ludah. Dia tidak memiliki waktu ataupun kekuatan untuk pergi dari tempat itu. Sudah terlambat. Sean menguncinya dan Hannie tidak dapat mundur. Hannie sudah terlibat terlalu dalam dengan pria itu.

Sean bergerak perlahan dari posisinya di atas bangku taman. Dengan mantap dia berjalan pelan ke arah Hannie yang masih berdiri kaku di hadapannya. Jarak mereka hanya tinggal beberapa jengkal, sebelum Hannie akhirnya mengangkat telapak tangan membuat Sean berhenti.

Hannie memantapkan suara. Dengan dagu diangkat seolah ingin menampilkan sisa kekuatan dan harga diri yang dia miliki, dia bertanya "apa yang kau mau?!"

Sean tampak terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba Hannie ajukan untuknya. Tapi dengan cepat dia mampu menguasai diri. Tatapannya berubah menjadi hangat. "Apa yang kau mau dariku, Hannie?!"

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang