Satu

72 7 0
                                    

Yves Hannie baru saja tertidur---atau paling tidak itu menurutnya, ketika sinar matahari masuk menembus jendela yang tidak tertutup rapat. Dia lupa menarik tirai untuk menutupi jendelanya tadi malam dan dia bahkan membiarkan jendela kamarnya setengah terbuka. Dia berguling ke sisi tubuhnya yang lain, mengerang saat merasakan rasa sakit yang luar biasa di satu sisi kepala.

Satu tangannya keluar dari dalam selimut, meraba-raba nakas yang ada di sebelah ranjang berukuran besar miliknya, mencari ponsel pintar yang sejak tadi malam sengaja dia matikan.

Kedua kelopak mata masih setengah terpejam ketika dia menghidupkan kembali ponselnya. Segera saja ponselnya bergetar berkali-kali, layar ponsel menampilkan puluhan pesan dan belasan panggilan tidak terjawab yang dia terima selagi ponselnya dalam keadaan tidak aktif. Dan semua panggilan tidak terjawab tersebut berasal dari satu nomor yang sama : Ibunya, Yves Young.

"Yah..., sepertinya aku memang harus menghubunginya cepat atau lambat..."  Gumamnya kepada diri sendiri sambil lalu.







Hari itu akhir pekan. Hannie sudah merencanakan apa yang akan dia lakukan untuk membuang waktu dan sebagian besar waktunya akan dia habiskan di flat nyamannya. Dia akan pergi sebentar ke supermarket untuk membeli bahan masakan, beberapa perlengkapan untuk mandi serta mencuci, lalu kembali ke rumah untuk memasak, kemudian menikmati makan siangnya sambil menonton serial favoritnya di TV. Kedengarannya sempurna. Itu semua ditambah kabar bahwa adiknya, adik semata wayangnya yang sangat berisik sudah memberitahunya bahwa dia akan datang berkunjung. Berpura-pura menolak kedatangan Yves Jihan, Hannie membalas pesan yang dikirimkan oleh adik tercintanya sambil tertawa pelan membayangkan ekspresi Jihan saat ini.

Jarak supermarket dari flatnya tidak begitu jauh. Hannie memutuskan untuk berjalan kaki, memberi alasan pada dirinya sendiri bahwa cara tersebut akan membuat tubuhnya terasa jauh lebih segar dibandingkan jika dia menaiki bus atau mengendarai mobil. Hannie melihat Emma tengah mendemonstrasikan hal yang sepertinya lucu kepada tetangga sekitar mereka, terlihat dari beberapa di antara mereka mengeluarkan gelak tawa yang cukup keras.

Hannie meraih troli di depan pintu supermarket dan melemparkan senyuman tipis pada petugas kebersihan yang tengah mengepel lantai dengan cairan desinfektan berbau sangat menyengat.

Dia membutuhkan selusin telur, beberapa karton susu cair, kulit pasta dan saus tomag untuk membuat makaroni panggang, buah-buahan segar yang bisa dia gunakan untuk membuat pai buah, bubuk kayumanis, dan beberapa buah lemon untuk dibuat menjadi minuman. Tangannya terjulur hendak mengambil buah lemon berwarna kuning cerah yang ada di keranjang buah di depannya tepat saat ada tangan lain yang juga ikut terjulur di udara. Kepalanya mendongak, mendapati Covey Sean kini berdiri di sebelahnya, aroma pinus yang segar menguar dari tubuhnya yang memakai kemeja polos berwarna putih.

Sean tidak tampak terkejut seperti Hannie. Sebaliknya, dia justru meloloskan tawa pelan dan menggelengkan kepala. "Sepertinya kita ditakdirkan untuk sering bertemu..."  Sean menarik kembali lengannya, membiarkan Hannie mengambil lemon dari dalam keranjang lebih dulu.

Hannie mendengus. Dia memasukkan beberapa lemon ke dalam kantung plastik lalu meletakkan plastiknya ke dalam troli belanjaan dan kini menghadap Sean sepenuhnya. Satu tangannya berada di pinggang. "Kau sudah melihatku lebih dulu, tapi sengaja melakukannya..."

Sean mengernyit sekilas sebelum kembali meloloskan tawa renyah. "Kau benar... aku melihatmu sejak kau memilih-milih susu..."  Dia melirik ke dalam troli belanjaan Hannie. "Dan aku benar... kupikir warna dan model rambutmu mudah kukenali."

Hannie berpura-pura tersinggung dan mengerucutkkan bibirnya, "kuanggap itu sebagai pujian..."

Sean kembali tertawa.

Mereka melanjutkan acara belanja mereka sambil berjalan beriringan. Sean membuntuti Hannie saat wanita itu memilih produk pewangi ruangan dan pembersih lantai, berkomentar tentang wangi yang dia suka di dalam ruangannya, sementara Hannie hanya menanggapinya dengan lirikan mata atau anggukan kepala dan sekali dua kali menanggapinya dengan kalimat "oh, begitu,".

"Aku bertanya-tanya sejak tadi..,"  Hannie berdiri pada tumitnya, memutar sedikit tubuhnya ke samping agar bisa melihat Sean dengan lebih jelas. "Apa yang baru saja kau lakukan? Maksudku... hari ini hari libur dan kau memakai pakaian seperti itu..."  Dia mengedikkan dagunya ke tubuh Sean. "Apa kau tidak memiliki pakaian lain selain kemeja polos?"

Sean menundukkan wajahnya sekilas seolah memastikan bahwa yang baru saja dimaksud oleh Hannie adalah kemeja putih polosnya, mengangkat kembali wajah dan tersenyum. "Aku baru pulang bekerja..."

"Apa? Di hari libur seperti ini?"  Ada ketidakpercayaan dalam nada bicaranya, namun akhirnya Hannie meminta maaf dan Sean hanya menggelengkan kepala sambil lalu.

Keduanya terdiam selama beberapa saat. Hannie meraih botol sampo beraroma bunga yang ada di depannya, dengan sengaja memutar-mutar botolnya di tangan dan membaca kandungan yang ada dalam sampo tersebut lalu meletakkan botol samponya ke dalam troli belanjaan bergabung dengan barang-barangnya yang lain.

"Aku bekerja di kantor khusus..."  Hannie menoleh. Tanpa diduga Sean memberinya jawaban. Ekspresi wajah pria itu antara setengah percaya dan setengah geli, seolah dia tidak yakin dia baru saja menyebutkan pekerjaannya yang begitu penting dan rahasia ke orang yang baru saja dikenalnya selama dua minggu terakhir.

"Jadi apa itu ada hubungannya dengan tembak-menembak dan semacamnya?"

Sean mengulang kalimat tembak-menembak, tampak geli dan terhibur dengan kalimat tersebut. "Yah, aku tidak bisa menemukan kalimat yang pas. Kau boleh menyebutnya dengan tembak-menembak".

Mereka berjalan ke kasir dan Hannie membayar semua barang belanjaannya, bertahan dan menolak dengan tegas saat Sean dengan baik hati menawarkan ingin membayar semua barang belanjaan wanita itu. Mereka masih berjalan beriringan menuju tempat mobil Sean terparkir. Dengan baik hati Sean mengatakan dia akan mengantar Hannie sampai depan rumah dan dia tidak menerima penolakan.

"Paling tidak jangan biarkan seorang pria merasa bersalah karena tidak memberimu tumpangan..."  Hannie memutar kedua bola mata namun toh menurut, masuk ke dalam sedan mewah berwarna hitam dengan kaca film yang sangat gelap milik Sean.

Mereka berkendara dalam diam. Aneh rasanya berada di dalam mobil milik seseorang yang terhitung baru dikenalnya, jarak mereka cukup dekat, dan Hannie bahkan bisa menghirup aroma pinus jauh lebih tajam dibanding aroma yang menguar dari tubuh Sean. Sudah cukup lama, sejak terakhir kali dia berada di situasi seperti itu bersama seseorang...

Napas Hannie menjadi cepat dan dia tersentak. Ada perasaan sakit dan sesak yang dia rasakan. Tidak, tidak... batinnya memperingati diri sendiri. Dia tidak boleh terhanyut seperti itu.

"Kanan? Atau kiri?"  Pertanyaan Sean seolah menyadarkan Hannie dari monolog batinnya sendiri. Hannie tersentak lalu mengatakan kanan dengan suara sedikit bergetar. Mobil yang dikendarai Sean berbelok ke kanan dan berhenti semenit kemudian tepat di depan tempat tinggal Hannie.

Mereka tidak langsung bergerak keluar dari dalam mobil. Hannie sendiri memilih untuk tetap duduk di kursi penumpang, tampak seolah berpikir perlu atau tidaknya menawarkan Sean untuk masuk ke dalam. Sean rupanya mengerti karena berikutnya dia keluar lebih dulu, berdiri di samping mobilnya membantu membuka pintu penumpang, menunggu Hannie keluar dan menggaruk belakang kepalanya.

"Jadi, kau ingin masuk?"  Tanya Hannie.

Sean tampak bimbang. Dia melihat mobilnya dan melihat flat milik Hannie kemudian menggeleng pelan. "Tidak. Aku harus segera kembali ke kantor. Ada banyak yang harus kukerjakan..."

Ingin sekali rasanya Hannie bertanya apa yang dilakukan oleh pria itu, apa pekerjaan pria itu, tapi itu akan terasa sangat tidak sopan setelah kebaikan hati Sean yang mengantarnya sampai depan flatnya. Dan lagipula, mereka hanya dua orang asing yang kebetulan pernah berjumpa di tempat umum lebih dari tiga kali.

Sebelum Hannie menutup pintu flatnya dan Sean kembali ke mobilnya, Sean berteriak dengan cukup keras, "boleh aku tahu nomor ponselmu? Maksudku... hanya untuk jaga-jaga kalau aku membutuhkannya".

Hannie tidak tahu apa yang dia lakukan atau pikirkan saat dia menyebutkan nomor ponselnya, berlalu menutup pintu depan, dan mulai membuat banyak sekali hidangan sambil menanti kedatangan Jihan.

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang