Lima Belas

42 4 0
                                    

"Dan kau tahu apa yang membuatku tidak habis pikir?! Sony membeli semua pakaian berwarna merah muda! Aku sudah katakan padanya tentang membeli pakaian berwarna kuning. Apa yang sulit dari itu?! Kuning adalah warna yang netral! Laki-laki dan perempuan memakai warna itu!"

Hannie tidak bisa menahan tawa. Saat ini dia duduk di atas kursi makan di ruang makannya, dengan satu tangan memegang ponsel dan tangan yang lain sibuk membalik halaman novel yang sedang dia baca. Telinganya mencoba mendengarkan dengan sabar semua hal yang disampaikan oleh Jihan dari seberang panggilan.

"Kau tidak mau mengecek kandunganmu?"

"Aku benar-benar ingin membuat ini sebagai kejutan. Kehamilan pertama harus menjadi kejutan, menurut teman-temanku."

Hannie memutar bola mata meskipun Jihan tidak bisa melihatnya. Dia kembali tertawa ringan, jemarinya kembali membalik halaman novel.

"Hannie..."  Jihan memanggil namanya dengan nada yang biasa dia gunakan jika dia ingin bicara hal yang serius pada kakaknya. Hannie tahu apa yang mungkin akan diucapkan oleh adik semata wayangnya, tapi dia menahannya. "Kau baik-baik saja di sana?"

Hannie ingin mendengus keras-keras. Jihan mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang semua orang ajukan untuknya beberapa bulan terakhir. Rasanya seperti semua orang yang mengenalnya selalu ingin memastikan bahwa Hannie menjalani hidupnya dengan baik dan bahagia. Hannie kembali memutar bola mata.

Tentu saja dia menjalani hidupnya dengan baik. Dia mendapatkan surat tugas di tempat yang baru, kepala bagian tempatnya bekerja benar-benar sangat baik dan memperlakukan dia seperti anaknya sendiri, rekan-rekan kantornya juga selalu bersikap baik dengannya, pekerjaannya sebagai pegawai negeri di departemen keuangan membuatnya mendapatkan penghasilan yang tidak sedikit, dan biaya hidup di kota yang dia pijaki sejak empat bulan lalu bisa dibilang tidak terlalu besar, tidak seperti biaya hidup di kota lamanya dulu. Dia bisa menghemat banyak uang karena hal itu.

Hannie berdehan membersihkan tenggorokan sebelum dia menjawab, "tentu aku baik-baik saja. Kau meremehkan kemampuanku untuk bertahan hidup..."  Dia berusaha menjaga nada bicaranya untuk tetap terdengar menyenangkan di kedua telinga Jihan.

Tapi Yves Hannie lupa, bahwa adiknya, Yves Jihan bak anjing pemburu yang tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Jihan mendengus keras dari seberang panggilan. Hannie bersumpah dia bahkan bisa membayangkan bagaimana adiknya memutar bola mata saat ini. Dia tertawa pelan, membayangkan seberapa hebat Sony bisa bertahan menghadapi sifat adiknya selama ini.

"Kau tahu kalau aku selalu bisa tahu jika ada satu-dua hal berjalan tidak baik, kan?!"

Hannie mengangguk. "Tentu... kita dibesarkan dari rahim yang sama."

Jihan kembali mendengus. "Hannie...,"  Jihan kembali memanggil, menyebut namanya dengan nada yang sama seperti sebelumnya. Hannie bergumam pelan. "Hmm... jika ada yang bisa kulakukan untukmu... aku pasti akan melakukannya. Dengan ataupun tanpa persetujuan darimu."

Hannie ingin bertanya apa maksud dari kalimat Jihan tadi, tapi sambil tertawa Jihan menjawab "tidak ada apa-apa", meminta Hannie untuk tidak memikirkan kalimatnya.

Obrolan singkat dengan Jihan mampu membuat Hannie menjalani sisa minggu itu dengan baik. Dia pergi bekerja seperti biasa, menyetir dengan kecepatan sedang, tiba di kantor sebelum pukul delapan, mesin absensi di kantornya yang baru mampu diajak kerjasama---tidak seperti di kantor lamanya yang sering bermasalah, menyelesaikan pekerjaannya sebelum jam makan siang, bergabung dengan beberapa teman seruangan untuk makan siang di kantin di lantai bawah, atau sesekali pergi ke kedai kopi dekat dari kantor hanya untuk mencari ketenangan, kembali ke rumah menjelang pukul enam sore, dan membersihkan apartemen sebelum dia membuat makan malam lalu kembali membelai alam mimpi. Hidupnya benar-benar berjalan dengan baik selama lima bulan terakhir. Dia banyak tertawa, dia banyak tersenyum, bahkan satu hingga dua pesan atau panggilan telpon dari Ibunya tidak membuat kepalanya sakit seperti dulu.

Tapi seharusnya Hannie sadar, bahwa di dunia ini ada istilah keseimbangan. Seharusnya dia sadar, bahwa ada Yin dan Yang. Seharusnya dia sadar, hidupnya sudah berjalan baik sejak lima bulan terakhir. Berjalan dengan amat sangat baik. Kelewat baik.

Hannie baru saja kembali dari perjalanan dinas selama dua hari di luar kota. Rambutnya yang dikucir kuda menempel di tengkuknya yang basah karena keringat. Beberapa helai anak rambut menempel pada keningnya yang lebar. Dia berjalan perlahan menuju apartemennya ketika mendapati sebuah amplop berukuran sedang tergeletak di sela pintu. Dengan kening berkerut, menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memperhatikan sekitarnya, Hannie mengambil amplop tersebut dan membawanya masuk ke dalam apartemen, menutup pintu depan dengan telapak kaki yang masih memakai sepatu hak tinggi.

Hannie mendudukkan dirinya di sofa berlengan kesayangan di ruang tamu. Dia membuka beberapa kancing kemeja biru yang dia kenakan, menyalakan pendingin ruangan, jemarinya masih memainkan amplop dalam genggaman. Kerutan di kening semakin dalam. Siapa yang mengirimkan surat dengan cara kuno seperti itu?! Hannie memang mengubah nomor ponselnya dan hanya memberitahu beberapa orang tentang hal itu. Dia bahkan mengubah alamat surelnya, dan hanya beberapa rekan di kantornya yang baru yang tahu alamat surelnya yang baru.

Sambil menahan kantuk, jemarinya yang lentik membuka amplop tersebut, mengeluarkan selembar kertas berwarna sama dengan warna amplopnya. Huruf-huruf ramping pada kertas dengan kalimat 'Dear Yves Hannie' sebagai pembuka membuat jantung Hannie berdegup sangat keras. Irisnya berlari dari kiri ke kanan, membaca kata demi kata yang dituangkan dalam surat tersebut.


















Tidak seperti biasanya, jantung Covey Sean berdetak sangat sangat keras dan menyakitkan di dalam rongganya saat ini. Sambil membuka dan menutup mulutnya sendiri, meraup oksigen dengan tamak, Sean memasak sabuk pengaman. Tatapannya jatuh ke luar jendela, tepat ke beberapa jumbo jet yang ada di sebelah pesawat yang dia tumpangi. Dalam hati Sean bertanya kemana penumpang lainnya ingin pergi? Apa mereka memiliki tujuan yang sama dengannya? Untuk mencoba mengambil kembali miliknya yang telah hilang?

Sean menelan ludah. Kedua irisnya yang berwarna hitam melirik arloji mahal di pergelangan tangan. Dia mencoba bersikap tenang, mencoba untuk berhenti memikirkan Yves Hannie dan semua kenangan yang dia buat bersama wanita itu. Tapi Covey Sean tidak memiliki kekuatan super untuk dapat melupakan sesuatu dengan mudah. Dia mengingat semua tentang Yves Hannie dengan sangat baik, seolah pertemuannya dengan wanita itu baru saja terjadi kemarin. Dia bahkan masih mengingat dengan jelas kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu, dan rasa bersalah yang sangat besar kembali menghantamnya.

Bagaimana jika Hannie tidak ingin memaafkannya? Bagaimana jika Hannie menerima surat yang dia kirimkan dengan cara kuno tapi memilih untuk merobek suratnya dan membuangnya ke tempat sampah?

Bagaimana jika Yves Hannie dengan harga dirinya yang tinggi menolak untuk bertemu dengannya kembali?

Pramugari berkeliling untuk memastikan bahwa semua penumpang sudah memasang sabuk mereka. Salah seorang pramugari berhenti sedikit lebih lama di sebelah Sean, menangkap matanya dan memberikan senyuman. Mereka saling menatap. Tapi Sean tidak membalas senyumannya. Yang dia inginkan saat ini hanya agar dia cepat sampai di tempat tujuan, di kota yang belum pernah dia singgahi sebelumnya, kota tempat Yves Hannie melarikan diri darinya.

Sean kembali menelan ludah. Dia kembali melirik arloji dan mengangkat wajah. Pramugari berambut pirang dengan bibir dirias merah dan bulu mata yang sangat panjang masih menatapnya. "Berapa lama lagi kita akan berangkat?"

Senyuman pramugari itu seharusnya mampu menenangkan hati siapapun yang melihatnya. Tapi tidak untuk Sean. Di dalam pikirannya saat ini hanya ada Yves Hannie.

"Oh, sebentar lagi, Sir..."

Sean mengangguk. Perjudian berisiko tinggi itu membuat kepala Sean sakit. Dia mencoba memejamkan mata, mencoba untuk tidak memikirkan apapun. Jika Yves Hannie tidak ingin menemuinya, dia akan memikirkan apa langkah yang harus dia lakukan selanjutnya. Tapi itu nanti. Untuk saat ini dia hanya ingin beristirahat. Dia butuh istirahat sebelum terperangkap di dalam bola mata berwarna cokelat madu yang hangat milik Yves Hannie.

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang