Empat Belas

21 1 0
                                    

"Apa kau yakin? Kau tahu... aku selalu berharap kau mengubah keputusanmu untuk terakhir..."

Jihan berdiri dengan tangan berada pada daun pintu yang terbuka, menggigit bibir bawahnya, memandang ragu Hannie yang kini tengah memasukkan beberapa barang-barang berharganya yang terakhir ke dalam kotak kayu berukuran besar.

Hannie beranjak dari posisinya saat ini, menggeser kotak-kotak kayu yang sudah diikat dengan tali, memandang adiknya dengan senyuman lebar, berusaha meyakinkan adiknya bahwa dia tidak akan mungkin mengubah keputusannya. "Aku akan baik-baik saja, kau harus percaya..."  Setengah melotot setengah tertawa, Hannie meraih Jihan ke dalam pelukannya.

Hannie sudah memutuskan untuk pindah ke negara perbatasan, mengajukan surat pindah tugas yang sangat mendadak beberapa bulan lalu, mengundang tanya dari teman-teman kerja serta atasannya. Selama beberapa bulan selagi dia menunggu keputusan tentang surat pindahnya, Hannie memilih menetap di rumah sewa yang ada di dekat kantornya, meninggalkan flatnya yang nyaman, dan meminta semua orang untuk merahasiakan alamatnya yang baru dengan alasan dia tidak ingin diganggu oleh agen pemasaran kartu kredit yang dengan gigih berusaha menghubunginya, menawarkan pinjaman hingga terkesan menerornya terus-menerus. Semua temannya menyanggupi permintaannya, dan jika ada satu orang yang tidak percaya, itu Jihan.

Hannie melepaskan pelukannya lebih dulu, tidak ingin Jihan tahu bahwa dia tengah berusaha menahan tangisnya dan membalikkan tubuh, berpura-pura sibuk mengamati kotak-kotak kayu yang akan dia bawa ke rumah barunya nanti.

"Hannie... kalau ada yang bisa kulakukan untukmu..."

Tapi tidak ada, kan?! Jihan hanya tahu detail kecil tentang alasan kepindahan Hannie dari West Coast, bahwa dia ingin menjauh dari seorang pria bernama Covey Sean, tanpa tahu detail lebih lanjutnya.

Hannie mendesah, berpura-pura lelah dan marah karena Jihan mengangkat topik itu lagi. Dia menggeleng dan memijat pelipisnya yang terasa berdenyut menyakitkan karena beberapa malam terakhir dia tidak benar-benar tidur, sibuk mengurus kepindahannya.

"Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Seharusnya, kau memperhatikan dirimu sendiri dan juga bayimu..."  Hannie kembali melotot. Menyebut kata bayi membuat hatinya perih.

Jihan memberitahunya bahwa dia sedang mengandung dan usia kandungannya jalan bulan ketiga. Itu berarti Jihan mengandung saat Hannie  baru saja kehilangan bayinya. Saat Jihan memberitahunya, Hannie ingat yang dia rasakan hanya perasaan hampa, seolah suara Jihan datang dari tempat yang sangat jauh. Tapi dia juga tidak ingin merusak kebahagiaan adiknya. Alih-alih menekuk wajah, Hannie memeluk Jihan saat itu, mengelus sayang punggung adiknya dan mereka berdua menangis bersama. Tangis yang berbeda, tentu saja.

Sony muncul ke dalam ruangan dengan mendorong troli berukuran besar. "Truk yang akan membawa barang-barangmu sudah ada di depan..."

"Bagus sekali..."  Hannie tersenyum lebih lebar. Dia membantu Sony mengangkat semua kotak, memindahkan kotak-kotak tersebut ke atas troli dan membawanya keluar dari ruangan, menyerahkan kotak-kotak tersebut kepada kurir yang akan membawanya ke tempat barunya.

"Kau harus menghubungiku begitu sampai di sana!"

"Pasti... kau orang pertama yang akan aku hubungi..."  Suara mesin truk yang kasar mengalihkan perhatian mereka. Kurir dan juga supir truk membungkuk sekilas, lalu truk melaju dengan kecepatan sedang.

Hannie mengerling arloji yang ada di pergelangan tangan. Tepat pukul dua siang. Pesawatnya akan berangkat pukul lima sore, dan dia sudah harus berada di bandara dalam waktu dekat.

Sony yang mengantarnya ke bandara. Hannie duduk di kursi penumpang belakang sementara Jihan duduk di kursi depan bersama Sony. Tulisan Selamat Datang di gerbang masuk Bandara West Coast terlihat jelas di hadapannya. Hannie menyandarkan tubuhnya ke kursi, berusaha untuk lebih rileks.

Semuanya berlalu dengan singkat. Jihan memeluknya dan menangis terisak di bahunya, sementara Sony membelai punggungnya saat mengucapkan salam perpisahan. Hannie masuk ke dalam badan pesawat sambil menoleh ke belakang, melihat West Coast untuk terakhir kalinya.

Dadu sudah dilempar... Dia akan meninggalkan West Coast dan berharap dia tidak perlu menginjakkan kaki lagi di kota yang memberinya banyak sekali kenangan. Kenangan yang menyakitkan dari dua orang pria yang berbeda.

Sean berusaha menghubunginya dengan berbagai cara, meskipun Hannie mengabaikan semua pesan dan juga panggilan telponnya. Sean berusaha menemuinya di kantor, menunggu Hannie turun ke lobi namun pria itu tidak pernah menemukannya karena setiap kali Sean datang, Hannie memilih untuk keluar kantor melalui pintu belakang.

Terakhir, Sean berusaha menghubunginya menggunakan nomor lain. Nomor yang kemudian Hannie masukkan ke dalam daftar blokir di ponselnya.

Hannie memasang sabuk pengaman, mendengarkan pramugari membacakan instruksi keselamatan kepada para penumpang, tatapannya terpaku keluar jendela.

Dadu telah dilempar dan dia telah membuat keputusan...

Selamat tinggal West Coast... Dia akan memulai hidup yang baru di kota yang baru.

Selamat tinggal, Covey Sean....

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang