Dua Belas

19 1 0
                                    

Hannie dipindahkan ke ruang rawat biasa dua hari setelahnya karena dokter menganggap wanita itu sudah cukup pulih. Sean mengunjunginya saat jam makan siang. Dengan jantung berdebar pria itu berdiri cukup lama di depan pintu ruang rawat Hannie, satu tangan berada pada pegangan pintu, berperang batin memikirkan apa yang harus dia lakukan atau ucapkan pertama kali. Apakah Hannie akan menolak kunjungannya?!

Setelah pergumulan batin yang cukup lama, Sean menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, menguatkan diri. Perlahan dia membuka pintu dan mendapati Hannie tengah duduk bersandar pada ranjang rawatnya, memandang ke luar jendela. Wanita itu menoleh mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dia berusaha memaksakan diri untuk tersenyum.

"Bagaimana kabarmu?"  Sean mengajukan pertanyaan. Dia meletakkan bungkusan berisi roti, buah, jus, dan susu ke atas nakas di sebelah ranjang rawat, menarik kursi untuknya sendiri dan duduk di atasnya.

"Baik,"  Hannie menjawab pelan. Suaranya masih terdengar lemah dan ada kekuatan yang dipaksakan. Dia kembali memandang ke luar jendela selama beberapa saat.

"Aku senang mendengar kau sudah pulih..."  Hannie kembali menolehkan kepalanya yang cantik, memandang Sean seperti dia belum pernah memandang pria itu sebelumnya. Dia kembali mengangguk lemah, kali ini tanpa senyuman. "Aku,-"

"Apapun yang ingin kau katakan, itu bukan kesalahanmu..."  Hannie menyela Sean. "Dengar... aku tidak menyalahkanmu atas kejadian kemarin. Itu sebuah kecelakaan... aku yang salah karena... karena..."  Hannie tercekat, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.

Mereka berdua terdiam. Yang terdengar hanya deru napas masing-masing serta detak jarum jam di dinding. Hannie kembali memandang keluar jendela sementara Sean tidak melepaskan pandangannya sedikit pun dari wanita itu. Dia memandangnya lama, dalam, dengan kedua mata menyipit.

"Itu anakku..."  Sean bergumam dengan suara pelan. Bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan. Hannie kembali menoleh ke arahnya untuk ketiga kalinya, memandang Sean lama sambil menggigit bibir bawahnya. "Itu juga anakku..."  Ulang Sean.

Perlahan Hannie menggeleng, sebulir airmata turun menuruni pipinya yang putih. "Jangan bohong, Han... Itu anakku..."  Dan airmata yang turun semakin deras membasahi kedua pipinya, namun Hannie mengangkat kedua tangan saat Sean berusaha mendekat meraihnya.

"Itu sebuah kesalahan..."  Sahut Hannie di sela tangisnya. "Aku tidak aman saat itu. Aku tidak berkata jujur padamu. Aku berhenti meminum pil berbulan-bulan sebelum malam pernikahan Jihan. Karena kupikir aku tidak memerlukannya lagi. Dan... dan..."  Hannie menyedot ingus dari hidungnya yang lurus, tersedak liurnya sendiri. "Dan aku tidak pernah berpikir kau akan menghilang... "  Kalimatnya tidak mengandung tuduhan, namun membuat Sean merasakan sakit tepat di ulu hatinya. Pria itu terduduk kaku di atas kursi. Semua yang dikatakan Hannie tepat seperti itu, dan Sean tidak punya hak, bahkan tidak punya nyali untuk mengelak.

"Aku sudah memutuskan akan merawat anak itu sendirian, karena kuyakin kau benar-benar pergi. Aku bahkan sudah melakukan banyak persiapan, termasuk membuat tabungan untuknya sendiri. Untuk kelahirannya sendiri. Dan kau datang lagi..."  Hannie kembali diam. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan tangis yang mungkin akan meledak. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan hingga Sean mungkin saja akan mengasihaninya. Dan dia tidak ingin dikasihani.

Sean ingin meminta maaf, tapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Yang ada hanya dengkur keputusasaan melihat Hannie terduduk lemas berusaha menahan tangis di ranjang rawatnya. Dia seperti mengintip duka mendalam.

Hannie berhenti menangis selewat beberapa menit yang terasa panjang. Dia menyeka airmata dan juga ingusnya sendiri ke lengan bajunya, menarik napas dalam-dalam, berusaha tersenyum pada Sean yang masih memandangnya. Airmata masih menggenangi pelupuk mata.

"Kau boleh pergi, Sean..."  Ada kegetiran lain dan juga paksaan dalam nada bicaranya, tapi Hannie terdengar mantap saat mengucapkannya. "Kau boleh pergi, seperti yang kau inginkan."

"Seperti yang... apa maksudnya itu?"  Kedua mata Sean kembali menyipit berbahaya. Dia merasa sakit hati dan terhina. Apa maksud dari kalimat seperti yang diinginkan?! Sean tidak pernah ingin pergi dari sisi wanita itu. Bahkan berbulan-bulan yang lalu, saat dia terkesan menghilang dari hidup wanita itu. Pekerjaannya yang memaksanya untuk melakukan hal itu.

"Kau boleh pergi, seperti yang kau lakukan beberapa waktu lalu. Seperti yang kau inginkan. Kau tidak menginginkan sebuah pernikahan, atau keluarga, atau... anak..."  Hannie bergidik sedikit saat mengucapkannya. "Dan apa yang kau inginkan terkabul. Tidak ada anak lagi, jadi kau bisa menikmati hidupmu yang bebas..."

Apa yang baru saja diucapkan oleh Hannie membuat Sean benar-benar marah. Pria itu menggeser kursi dan beranjak dari kursinya dengan marah, memandang galak Hannie yang balas memandangnya dengan menantang. Dia merasa sakit hati, terhina, meskipun dalam hati, meskipun dengan enggan, dia mengakui bahwa yang diucapkan Hannie benar. Seharusnya Sean tidak perlu marah atau merasa terhina. Hannie sudah kehilangan anak di dalam perutnya. Mereka telah kehilangan anak mereka. Hannie sudah membebaskannya dari tanggung jawab seumur hidup. Tapi tidak. Dia tidak ingin seperti itu, dia tidak ingin merasa seperti pria brengsek di luar sana.

"Aku akan pergi agar kau bisa istirahat. Tapi aku akan kembali sore nanti, dan malam nanti aku hanya akan pergi untuk absen ke kantor, dan akan menemuimu lagi. Dan begitu pula besoknya, dan besoknya juga..."  Sean tidak memberi kesempatan bagi Hannie untuk membantah ucapannya. Dia melangkah keluar dari dalam ruangan, menutup pintu di belakangnya, meninggalkan Hannie yang kembali terisak.

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang