Tiga

25 4 0
                                    

Dua hari berlalu sejak Jihan datang menginap, dan tidak ada kejadian apapun setelahnya. Hannie menjalani hari-harinya yang membosankan seperti biasa, berangkat dan pulang bekerja tepat waktu, menyapa Emma dan beberapa teman lansianya, membantu mereka membuat kue lemon dengan krim---salah satu resep terbaik yang sering Emma buat, berbincang dengan tetangga sekitar dan tukang sampah yang lewat, dan mencoba beberapa resep baru sepulang bekerja jika dia tidak terlalu lelah. Ibunya tidak lagi mencoba menghubungi tapi hal tersebut justru membuat Hannie mengucap syukur dalam hati. Dia masih belum siap untuk menjawab setiap pertanyaan yang mungkin akan diajukan oleh Ibunya, masih belum siap bertemu dengan Ayahnya, masih belum siap menerima tatapan iba yang selalu Ayahnya berikan, dan masih belum siap untuk mendengar nada bicara dingin yang mungkin akan dilontarkan oleh Ibunya. Dan Jihan masih berpendapat bahwa Hannie harus mengenalkan Sean kepada orangtua mereka secepat mungkin.

Di hari yang membosankan lainnya di akhir pekan, Hannie yang sedang bermalas-malasan di atas kursi berlengan mendapat kejutan dari nomor asing. Dengan dahi berkerut dia menjawab panggilan dari nomor asing tersebut, dan nama Covey Sean disebutkan dari seberang telpon.

Sean mengajaknya pergi berkencan tanpa satu pun basa-basi. Hebat!

Seperti yang sudah dijanjikan, Sean datang tepat pukul enam sore. Pria itu tiba di depan pintu flat Hannie memakai kemeja polos berwarna putih serta celana berbahan licin berwarna hitam. Sedikit timbul keinginan di dalam diri Hannie untuk bertanya apakah Sean tidak memiliki warna kemeja yang lainnya selain putih, hitam, biru ataupun abu-abu. Tapi dia menahan keinginan tersebut dan berusaha menggigit lidahnya kuat-kuat.

Mereka berkendara menuju restoran tempat Sean sudah melakukan reservasi. Malam itu cukup berangin dan Hannie mengutuk di dalam hati keputusannya mengenakan baju terusan pendek berlengan panjang berbahan tipis dengan kerah model V. Angin terasa mengulitinya. Mereka bergegas masuk ke dalam restoran tidak ingin berlama-lama berada di parkiran dan mencari kehangatan yang manis dari dalam restoran.

Sean menyebutkan namanya dan pelayan pria yang Hannie perkirakan berusia awal dua puluh mengantar mereka ke meja yang ada di dekat kaca yang sangat besar, yang menghalangi kursi mereka dari air terjun buatan di bagian belakang restoran.

"Apa yang ingin kau makan?"  Sean mengangkat wajahnya sekilas untuk bertanya kepada Hannie yang sudah menerima buku menu dari pelayan.

Hannie menatap menu yang ada di dalam buku selama beberapa saat sebelum mengucapkan iga bakar serta lemon sorbet.

"Hanya itu?"  Tanya Sean. Dia lalu mengucapkan pesanannya sendiri, steak dan juga anggur. "Anggur adalah pasangan terbaik untuk steak setengah matang..."  Pria itu tersenyum sekilas lalu menyerahkan buku menu pada pelayan yang masih berdiri di sebelahnya.

"Kau sering ke sini?"  Hannie memecahkan keheningan lebih dulu. Dia mengedarkan pandangan ke penjuru restoran sambil menyangga kepala dengan satu tangan.

Sean menarik kursinya untuk lebih dekat dengan meja mereka. "Ya. Beberapa kali."

"Apakah itu kencan?"

Sean mengerutkan kening dan menggeleng. "Tidak. Aku datang ke sini dengan kedua orang tuaku..."

Hannie menganggukkan kepala. "Baiklah. Jadi kau ke sini dengan orang tuamu... Kau tinggal bersama mereka?"

"Tidak,"  Sean tampak jauh lebih santai sekarang. Dia mengikuti Hannie, menyangga kepala dengan satu tangan. Kedua matanya menatap Hannie. "Aku tinggal jauh dari mereka..."

"Oh, well, itu bagus..."

"Bagaimana denganmu?"

Obrolan mereka disela oleh pelayan lainnya yang datang mengantarkan minuman. Anggur dan juga sorbet lemon. Sean dan Hannie mengucapkan terima kasih dengan suara pelan, menyesap minuman mereka dan kembali melanjutkan obrolan seolah tidak ada yang menginterupsi sebelumnya.

"Yah... Aku tinggal sendiri. Ibu dan Ayahku tinggal di Gold Coast."

"Di Gold Coast? Itu tempat yang indah..."

"Kau pernah berkunjung ke Gold Coast?"

Sean mengangguk bersemangat. Dia bercerita bahwa masa kecil hingga remajanya dihabiskan di kota lain sebelum Ayahnya mendapatkan surat tugas untuk pindah ke kota lain---West Coast, lebih tepatnya. Ayah dan Ibunya adalah seorang dokter dan Sean sendiri ternyata agen elit di kepolisian. Hal yang tidak disangka-sangka oleh Hannie karena saat pertama kali mereka berjumpa di stasiun bawah tanah, Sean mengenakan pakaian kerja seperti pegawai kantoran biasa. Hannie sempat berpikir bahwa Sean mungkin saja seorang agen pemasaran di perusahaan asuransi.

"Yah... Aku terkadang berkamuflase..."  Sean tertawa renyah.

Mereka mulai menyantap makan malam sambil berbincang ringan, saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Tentang profesi Ayah dan Ibu Hannie---manajer dari perusahaan telekomunikasi yang cukup terkenal di luar kota, tentang pekerjaan Hannie, dan tentang West Coast. Termasuk apa yang disukai dan tidak disukai oleh keduanya dari West Coast.

Tepat pukul sembilan malam Sean memutuskan sudah waktunya bagi mereka untuk berpisah. Dia mengantar Hannie sampai di depan pintu flat wanita itu. Satu tangannya berada pada daun pintu berusaha menahan pintunya agar tidak tertutup.

"Terima kasih untuk malam ini..."  Ucap Hannie dengan tulus. Keduanya sama-sama tertawa. "Bagaimana kalau kita adakan kencan lainnya?"  Hannie tidak tahu apa yang baru saja dia lakukan atau katakan, dan merasa bingung sendiri karena dia baru saja mengucapkan kalimat tersebut. Dia mengerang dalam hati menyesali kalimatnya sendiri.

"Kencan lainnya?"  Satu alis Sean terangkat. Dia seolah berpikir sebentar, memikirkan tawaran menggiurkan dari wanita di depannya. Kemudian dia menganggukkan kepala dan mereka setuju untuk bertemu kembali besok siang. Dia akan menjemput Hannie dan mereka akan pergi menonton film bersama.

"yah... Semoga ini jadi awal yang baik. Ibu benar, kan?! Aku memang harus mulai membuka diri. Sudah lebih dari dua tahun aku mengurung diri..."  Hannie berkata pada dirinya sendiri sebelum dia menutup pintu depan flatnya.

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang