Hannie dan Sean tiba di depan rumah berlantai dua dengan cat luar didominasi warna abu-abu dan putih. Undakan depan diberi cat berwarna putih, senada dengan dinding dan juga pintu depannya. Di sekeliling undakan terdapat tanaman hias bunga forget-me-not berwarna biru cerah.
Sean melangkah lebih dulu, Hannie mengikuti di belakangnya. Hannie bisa melihat dengan jelas pohon apel yang sudah berbuah di sebelah rumah. "Apa kau menanam semua pepohonan ini seorang diri?"
Sean berhenti melangkah di undakan terakhir. Dia berbalik dan tersenyum. "Ya... Ibuku senang berkebun, dan dia memaksaku untuk menanam banyak sekali pohon di rumah ini... Kau akan terkejut melihat berapa banyak pohon yang ada di rumah orangtuaku.."
Sean membuka pintu depan dan keduanya melangkah masuk ke dalam. Kesan pertama yang muncul dalam benak Hannie : rumah milik Sean terlalu terang. Pria itu mendekorasi rumah pribadinya dengan seminimal mungkin hiasan dan barang, dan semua perabotan serta dindingnya berwarna senada dengan bagian luar.
Sean berjalan agak tergesa untuk menyibak tirai yang ada di depan mereka. Hannie bisa melihat dengan jelas taman kecil yang ada di bagian belakang rumah, dengan pohon besar yang sangat rimbun. Bintang-bintang di langit menatap mereka balik dalam kesunyian.
"Aku ingin membersihkan diri dulu. Bagaimana menurutmu?" Sean sedang membuka kancing lengan kemejanya, berdiri pada tumitnya dan memandang Hannie.
"Tentu... Aku akan menunggu..."
Hannie duduk di kursi santai yang menghadap ke jendela berbingkai. Dari jendela yang terbuka dia bisa melihat beberapa tanaman hias lainnya yang tumbuh subur di pekarangan belakang rumah. Dalam hati dia bertanya-tanya sendiri bagaimana Sean merawat kebunnya sementara pria itu menghabiskan hampir seluruh waktunya di kantor.
Kepalanya menoleh ke berbagai penjuru rumah, menatap ingin tahu setiap benda yang ada dalam ruangan minimalis namun nyaman tersebut. Bersandar pada dinding di dekat pintu masuk terdapat sepeda berukuran sedang yang Hannie yakin sering digunakan Sean untuk berkeliling jika pria itu sedang libur bertugas. TV layar datar dengan ukuran yang cukup besar diletakkan di atas nakas kayu berwarna cokelat gelap, dan di bagian bawah nakas tersebut terdapat pemutar CD model yang sudah ketinggalan zaman. Di sebelahnya berdiri rak yang diisi Sean dengan beberapa gelas kaca berukuran kecil seperti gelas untuk meminum sampanye, botol-botol parfum yang isinya tinggal setengah, dan juga tumpukan buku yang tersusun rapih. Di dinding dekat pintu masuk juga terdapat figura berukuran sedang dengan banyak paku di sekelilingnya dan Sean menggunakan figura tersebut untuk menggantung berbagai lencana serta penghargaan yang pernah dia dapatkan.
Tidak ada foto keluarga dalam ruang tamu pria itu. Yang ada hanya sebuah lukisan rumit tempo dulu, berukuran sangat besar, yang digantung di dekat bar mini.
Sean kembali ke ruangan dengan hanya mengenakan celana pendek. Rambutnya masih meneteskan air dan dia sedang menggosok kepalanya dengan handuk berwarna putih bersih. Hannie mendongak, tersenyum lebar.
"Rumahmu luar biasa... begitu putih dan terang..."
Sean tertawa. Dia meletakkan handuk di jemuran kecil yang diletakkan di dekat pintu masuk, mengambil minuman dari bar mini dan duduk di sebelah Hannie. Dia menyerahkan minuman segar untuk wanita itu.
"Terima kasih," Hannie menyesap minumannya sekilas, meletakkan gelas kecilnya di meja samping kursi berlengan. Tangannya menepuk-nepuk kedua pahanya dengan canggung. sean masih menyesap minumannya selama beberapa saat, kemudian melakukan seperti yang Hannie lakukan, meletakkan gelasnya di atas meja di sebelah gelas Hannie.
"Aku bertanya-tanya, apa kau sendiri yang mendekorasi rumah ini?" Hannie menunjuk ke figura berisi lencana-lencana yang didapatkan Sean menggunakan dagunya. Pria itu menoleh sekilas, mengangguk lalu tertawa pelan.
"Ya... hampir seperti itu. Beberapa didekorasi oleh ahlinya..."
"Ahlinya?"
"Aku membayar orang yang memang bekerja di bidangnya untuk menyusun ini semua..."
Hannie menganggukkan kepala sekilas. Dia baru akan membuka mulutnya lagi saat Sean tiba-tiba saja seolah menerjangnya ke samping, membuatnya tertidur di atas kursi berlengan, tubuhnya di bawah kungkungan lengan Sean. Hannie melenguh pelan.
Sean melarikan bibirnya yang hangat dan manis ke bibir Hannie yang setengah terbuka. Aroma napasnya seperti campuran antara permen jeruk dan soda, dan Hannie bertanya-tanya dalam hati apa merk obat kumur dan pasta gigi yang digunakan oleh pria itu. Dia akan mencari tahu nanti.
Satu tangan Sean masuk ke dalam gaun yang dikenakan Hannie tanpa diduga. Wanita itu mengangkat kepala, melempar kepalanya ke belakang saat jemari Sean berlari pelan dan lembut di pahanya yang tidak terlindungi. Sean menyingkap gaunnya semakin ke atas sementara bibirnya kini menjelajah leher wanita itu.
Napas Hannie berubah cepat. Tangannya berlari meraih setiap anggota tubuh Sean yang bisa diraihnya. Jemarinya berlari di sepanjang kepala pria itu, menarik-narik, sedikit menjambak rambut pria itu. Sean melenguh di atas kulit lehernya. Jemarinya turun meraba punggung Sean yang telanjang, menyusuri lekukannya membuat Sean bergidik.
Dalam waktu singkat mereka sudah menanggalkan seluruh pakaian mereka. Dengan tergesa-gesa Sean menyelipkan kedua lengannya di bawah tubuh polos Hannie, mengangkatnya, menggendongnya. Masih saling berpelukan mereka berciuman, menabrak beberapa perabotan dalam ketergesaan mereka hingga mereka sampai di kamar tidur pria itu. Sean membuka pintu kamar dengan satu kaki sementara kedua lengannya masih menggendong tubuh Hannie dan bibirnya masih berada di ceruk leher wanita itu.
Hannie membuka mata. Dia mendapati kamar tidur yang luas dengan ranjang berukuran besar di tengah ruangan, lemari pakaian besar dari kayu mengkilat di sudut ruangan, lukisan berukuran besar seorang pria yang sedang berdiri memunggungi mereka sambil memegang senapan. Penutup tempat tidurnya berwarna hitam. Secara keseluruhan kamar tidur Sean tampak sangat bergaya dan sangat mewah.
Sean menurunkan Hannie dengan hati-hati ke atas ranjang. Bibirnya hanya sejengkal dari bibir Hannie.
Dia bergerak perlahan, naik ke atas ranjang. Kedua matanya yang hitam menatap Hannie dengan lapar. Hannie merasa dia seperti terbakar di bawah tatapannya.
Tiba-tiba kesadaran menghentaknya. Dia sudah berhenti meminum pilnya sejak beberapa waktu lalu. Dia bahkan sudah berhenti meminum pilnya sejak sebelum pernikahan Jihan berlangsung. Dia ingin memberitahukan hal itu pada Sean, tapi lidahnya terasa kelu. Dia ingin meminta Sean berhenti, tapi jauh dalam lubuk hatinya dia sendiri tidak ingin berhenti. Bisakah dia atau Sean berhenti? Bisa kah dia menunggu selagi Sean membeli kondom di minimarket terdekat?
Jawabannya sudah jelas. Tentu saja dia tidak bisa. Dan Hannie sendiri ragu bahwa dia bisa menunggu. Maka dengan rasa bersalah dia berbohong, mengangguk sambil mengerang saat Sean mulai menyatukan tubuh mereka. Sean bergerak dengan kelembutan yang luar biasa. Gerakannya tepat dan membuat Hannie merasa terbang ke langit ke tujuh. Dia mengerang, memejamkan mata, mencakar setiap jengkal anggota tubuh Sean yang bisa diraihnya. Dalam sekejap kekhawatiran yang tadi dia rasakan lenyap.
Mereka bercinta hingga larut malam, berkali-kali mencapai puncak. Keduanya baru benar-benar berhenti menjelang pukul satu dinihari, dan Hannie tertidur dalam pelukan erat Covey Sean. Rambut kecokelatannya yang panjang tampak kusut dan berantakan di atas bantal pria itu, dan hangat tubuhnya terasa sangat nyata di kungkungan lengan pria itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/347509307-288-k150842.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CRY FOR ME
RomanceDisclaimer Written and Published by : Raindroponme Rate : M Language : Indonesian Cover and Picture : taken and made by Canva. Thanks to the artist Syn : Hannie sudah berjanji tidak akan pernah lagi mengencani seorang pun pria setelah kematian Joshy...