Dua

32 4 0
                                    

Jihan datang tepat pukul tujuh malam. Dia datang sambil membawa tas besar dalam pelukannya, yang berisi beberapa bahan makanan. Dia akan menginap dan menghabiskan waktu bersama Hannie untuk satu malam. Sudah lama sekali sejak mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Kesibukan Hannie sebagai pegawai negeri di sebuah departemen dan juga kesibukan Jihan sebagai manajer pemasaran bank swasta membuat mereka tidak memiliki banyak waktu untuk bersantai.

"Aku juga membawa anggur untuk kita... lihat..."  Jihan mengeluarkan sebotol besar anggur dan meletakkannya di atas meja makan, bergabung dengan makan malam yang sudah setengah siap.

"Terima kasih..."  Hannie mengangkat wajah dan mengucapkannya dengan tulus. Dia kembali menghadapi telur dadar di atas penggorengan. Jihan menarik kursi dan duduk di atasnya, menyangga kepala dengan satu tangan, menonton Hannie memasak sementara bibirnya mengerucut dan kedua pipinya menggembung.

"Bagaimana pekerjaanmu?"  Hannie menoleh sekilas untuk melontarkan pertanyaan.

"Tidak begitu buruk. Ada satu sampai dua masalah yang harus kuhadapi selama dua minggu kemarin, tapi itu semua sudah berakhir."

"Syukurlah..."  Hannie tersenyum. "Bagaimana kabar Sony?"

Jihan kini tersenyum lebar. "Dia baik. Dia baru saja mendapatkan promosi untuk naik jabatan..."

"Hebat. Aku senang mendengarnya..."  Ucap Hannie dengan tulus. Dia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

Sony adalah kekasih Jihan. Mereka sudah menjalin kasih sejak dua tahun yang lalu. Menurut Jihan, keduanya bertemu pertama kali saat Jihan tidak sengaja masuk ke dalam taksi yang terparkir di pinggir jalan, yang ternyata sudah dipesan oleh Sony lebih dulu. Kisah mereka seperti yang sering Hannie lihat di drama TV. Sony bekerja sebagai manajer pemasaran di agen properti.

"Aku senang kalian berdua baik-baik saja..."

Jihan mengangguk tidak sabar. Dia kini menegakkan tubuhnya, memasang ekspresi yang jauh lebih serius. "Dan bicara soal baik-baik saja, kurasa kau harus memberiku alasan kenapa kau terus-menerus menolak panggilan telpon dari Ibu?!"

Hannie berdecak sebal. Dia membalik telur dadarnya dan mematikan kompor. Dengan sengaja berlama-lama menjawab pertanyaan Jihan.

"Yah... aku punya banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan. Menurutmu apa yang kulakukan?!"  Hannie mencoba tersenyum namun gagal. Jihan menyipitkan kedua mata.

"Ayolah, Hannie... kau tahu maksudku..."  Tangannya menepuk permukaan meja dengan tidak sabar.

"Apa yang kau tahu dan aku juga harus tahu?!"  Hannie menuang telur dadarnya ke atas piring yang sudah diletakkan di atas meja.

"Kau berusaha menghindar dari Ayah dan Ibu."

"Tidak."

"Ya! Dan kau tahu dengan pasti kalau kau tidak bisa berbohong!"  Kedua mata Jihan semakin menyipit berbahaya.

Hannie mengangkat kedua bahu, berusaha tampak tidak peduli dan mengambil sendok dari dalam lemari makan. Dia menarik kursi makan untuknya sendiri lalu duduk di atasnya. Jihan menyusul kemudian.

"Dan ada hal lain yang harus kusampaikan."

"Tentang apa?"

"Tentang keluarga Kim..."  Hannie menganggukkan kepalanya dengan asal. Dia menuang saus tomat ke atas piring Jihan dan piringnya sendiri.

"Ayolah... kau tahu bahwa itu langkah yang bagus. Kau sudah... berapa lama..."  Jihan menghitung dengan jarinya sendiri, "hampir tiga tahun bertahan dengan kesendirianmu setelah kematian Joshy!"

Gerakan tangan Hannie yang sedang menuang sosis dari penggorengan ke atas piring terhenti. Dia terdiam sebentar sebelum mengangkat wajah untuk menatap Jihan dan memaksakan diri untuk tersenyum. Mereka duduk di atas kursi makan, menuang makanan untuk mereka sendiri dan mulai menyuap makanan ke dalam mulut masing-masing. 

"Aku tidak perlu diingatkan tentang itu, terima kasih..."  Suara Hannie terdengar mantap. "Dan aku tidak mengurung diri. Aku pergi bekerja, ke supermarket, berkumpul dengan teman-temanku..."

Jihan mendengus. "Jangan bohong!"  Adiknya laksana anjing pemburu yang tidak akan berhenti sebelum berhasil mendapatkan buruannya. "Aku bertanya pada Jennifer dan Miny. Mereka bilang kau selalu menolak ajakan mereka untuk pergi berpesta."

Hannie mendengus keras di atas mangkuk supnya. Dia yakin ingusnya masuk ke dalam mangkuk sup tapi dia tidak peduli. Dia hanya tersenyum menyesal pada Jihan dan kembali menyuapkan sup panas ke dalam mulutnya.

"Aku tetap berpendapat kau harus pergi berkencan. Dan aku sudah mengaturnya..."

Kali ini ganti kedua mata Hannie yang menyipit. Dia meletakkan mangkuk supnya, memandang Jihan sementara adiknya balas memandangnya dengan galak. Jihan tidak tampak takut sedikitpun. "Apa maksudnya?"

"Yah..."  Jihan mengangkat bahu. Dia menyuap sepotong telur dadar dan sosis ke dalam mulutnya, sengaja mengunyah lambat-lambat. "Sony... dia mempunyai seorang teman yang sangat tampan. Dan kurasa dia akan serasi denganmu."

Lagi-lagi Hannie mendengus. "Teman seperti apa?!"

"Dia tampan... dan cerdas. Dan memiliki karir yang bagus. Tapi..."  Jihan tampak salah tingkah sekarang. Dia menggigit bibir bawahnya. "Tapi dia seorang duda... istrinya mati saat melahirkan anak mereka..."

"Ap..."  Hannie membuka rahangnya lebar-lebar... "Apa?! No way!"  Dan kini Hannie benar-benar marah. "Dengarkan aku, Ji..."  Jihan tampak akan membantah tapi Hannie mengangkat tangannya, meminta adiknya untuk diam. Dengan enggan Jihan menutup mulutnya rapat-rapat. "Aku tidak akan berkencan dengan teman Sony... siapapun. Tidak satu orang pun teman Sony yang akan kukencani... karena... yah, karena..."  Dan kali ini Hannie tampak salah tingkah. "Karena aku sudah mengenal seseorang dan kami sedang dalam tahap berkencan."

Wajah Jihan berubah seketika. Dia tersenyum sangat lebar, dan wajahnya seolah bercahaya seperti natal datang lebih cepat. Dia menuntut Hannie untuk memberitahu siapa nama pria itu dan diluar dugaan, seolah nama tersebut ada di dalam bagian depan ingatannya, Hannie menyebut "Covey Sean..."

Makan malam berlangsung damai setelah Hannie mengucapkan satu nama itu. Dia berhasil meyakinkan adiknya bahwa dia akan pergi berkencan dengan Sean, dan bahwa Sean adalah pria baik-baik. Jihan mengajak Hannie menonton serial drama favorit mereka setelah makan malam. Keduanya duduk di kursi santai berlengan yang ada di depan TV, saling menyandarkan kepala dan menumpukan kaki masing-masing.

Mereka pergi tidur menjelang pukul satu dinihari. Hannie melihat adiknya sudah terlelap lebih dulu. Dia mengubah posisi tidurnya menyamping, menyangga kepala dengan telapak tangannya. Pikirannya sibuk berlarian ke obrolannya dengan Jiyan saat makan malam tadi.

Covey Sean... Hannie mengerang dan mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa dia terlalu bodoh untuk menyebutkan nama itu sementara mereka hanya dua orang asing yang kebetulan sering bertemu di tempat umum?! Hannie meninju bantalnya sendiri dan terlelap menjelang pukul empat pagi.

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang