Sepuluh

27 2 0
                                    

Hannie meletakkan garpu dan sendoknya. Dia mendorong mangkuk salad dan sup kacang merah menjauh darinya. Sean masih asik menyantap makan malamnya dalam diam. Sebelumnya mereka telah melontarkan candaan tentang pemandangan kota West Coast malam itu mengingatkan mereka akan kenangan di tepi hutan. Hannie hanya tersenyum juga mengangguk lemah saat Sean menggodanya, dengan suara serak mengatakan, bahwa dia merindukan wanita itu. Atau mungkin malam panas yang mereka habiskan bersama, batin Hannie miris.

Ucapan Sean sebelumnya, tentang pria itu yang tidak menginginkan keluarga ataupun pernikahan dalam hidupnya, membuat Hannie seperti dihantam dengan alat berat tepat di ulu hati. Dia hanya bisa tersenyum lemah menanggapi Sean, menggeleng saat Sean meminta pendapatnya, dan membalas kalimat Sean dengan banyak kebisuan setelahnya.

Sudah jelas bahwa yang pria itu inginkan hanya malam panas yang terjadi di antara mereka berdua. Sudah sangat jelas bahwa yang Sean inginkan hanya sekadar teman makan malam. Sudah sangat jelas bahwa yang Sean butuhkan hanya sekadar teman kencan tanpa ikatan yang mungkin kelak akan berakhir di atas ranjang mewahnya. Hannie meringis dan tertawa miris dalam hati.

Sean meraih botol anggur yang ada di dekatnya, menuangnya ke dalam gelas miliknya sendiri, menggoyang pelan gelasnya, dan menyesapnya. Dia mendesah nikmat. Hannie menggigit bibir memperhatikan adegan kecil di hadapannya. Dia ingin mencoba anggur itu, hanya untuk menghilangkan frustasi yang tengah dia rasakan. Tapi dalam hati dia tahu apa konsekuensi yang mungkin akan dia dapat jika dia nekat menyentuh alkohol.

Beberapa pria membawa alat musik dan seorang wanita memakai gaun malam berkerah rendah naik ke atas panggung. Hannie mengerling wanita itu yang kini tengah tersenyum, menyapa beberapa tamu restoran yang mungkin sudah akrab dengannya. Sean menuang gelas kedua anggurnya dan menyesapnya lagi. Terus berulang hingga gelas ke tiga.

Tangan Sean yang sedang memegang gelas anggur keempat berhenti dengan posisi janggal di udara saat Hannie mengacungkan gelasnya sendiri, meminta tanpa kata botol anggur yang ada dalam genggaman Sean. Dia menaikkan satu alis dan tertawa pelan, menuangkan anggur ke dalam gelas Hannie yang teracung di depan wajahnya, memperhatikan dalam diam bagaimana wanita itu menenggak habis anggurnya dalam tiga kali tegukan. Hannie mendesah nikmat, menyeka sisa anggur dari sudut mulutnya dengan punggung tangan.

Hannie kembali mengacungkan gelasnya meminta tambah. Lagi, Sean mengisinya, memperhatikan bagaimana Hannie menenggak habis gelas keduanya. Dan lagi, gelas ketiganya. Terus berlanjut hingga gelas keempat, kelima, enam, tujuh, dan saat Hannie ingin meminta gelas ke delapan, Sean menggeleng, meletakkan kembali botol anggurnya ke atas meja.

"Tidak, sudah cukup. Kau akan terkejut pada batas toleransi yang ada di tubuh wanita terhadap alkohol..."  Sean berujar galak.

Mereka setuju untuk kembali ke rumah secepatnya. Dengan sigap Sean melepaskan jaket kulit yang dia kenakan saat melihat Hannie menggigil di atas kursinya, memakaikan jaket ke tubuh wanita itu dan menggandeng lengannya saat keduanya berjalan keluar dari restoran.

Angin berhembus jauh lebih dingin dari malam-malam biasanya. Hannie masih menggigil dibawah jaket kulit yang dipakaikan Sean untuknya. Aroma pinus yang menyenangkan membelai hidungnya.

Mereka masuk ke dalam mobil tanpa mengucapkan sepatah kata. Hannie sengaja menutup mulut rapat-rapat dan Sean tidak berusaha untuk memecahkan kebisuan yang dilakukan oleh Hannie, meskipun satu atau dua kali pria itu menoleh ke arah si wanita dan tampak khawatir. Hannie memang terlihat pucat sejak mereka keluar dari dalam restoran. Apa wanita itu sakit?

Mereka berkendara masih tetap mempertahankan kebisuan yang sangat tidak menyenangkan. Dalam waktu singkat tiba di depan flat Hannie yang nyaman, dan Hannie keluar lebih dulu. Mereka berjalan dalam diam hingga sampai di depan pintu, baru lah saat itu Hannie membuka mulutnya, "apa kau mau masuk?"

Sean mengerutkan kening sekilas. Perhatiannya tercurah seutuhnya pada wajah Hannie yang sangat pucat. Wanita itu menggigit bibirnya sendiri seperti menahan kesakitan yang Sean tak tahu atau mengerti.

Sean mengangguk perlahan, berjalan masuk ke dalam flat setelah Hannie membuka dan menyingkir dari depan pintu. Sean duduk di kursi berlengan di depan sofa, memperhatikan dengan penuh minat setiap barang yang ada dalam ruangan tersebut.

Hannie berjalan agak tergesa-gesa, mengatakan "kamar mandi" dengan suara yang tidak terlalu jelas. Dalam hati Sean membatin apakah dia mengucapkan kalimat yang salah, apakah dia telah berbuat kesalahan yang dia tidak sadari. Berusaha mengingat-ingat bagian mana dari obrolan yang terjadi di restoran tadi yang mungkin menyinggung perasaan Hannie. Wanita itu kini muncul, berjalan ke arahnya dengan wajah yang jauh lebih pucat dari sebelumnya. Bulir-bulir keringat menetes pelan dari keningnya hingga ke leher. Tangannya menarik-narik kancing jaket Sean yang masih dia kenakan. Hannie tampak ingin menangis dan pingsan dalam waktu bersamaan.

Sean melompat dari kursi yang dia duduki, meraih tubuh wanita di depannya, meletakkan kedua tangan di kedua bahu wanita itu. Sebelum sempat bertanya apa yang terjadi, Hannie bicara dengan suara pelan dan sedikit serak, "Aku hamil... Aku seharusnya tidak menyentuh anggur itu... Kurasa aku... Astaga..."

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang