Sembilan

26 4 0
                                    

Jarum jam di dinding terus bergerak tanpa ampun. Hannie sudah menghabiskan sepanjang paginya untuk duduk melamun di depan TV, hanya mengisi perut menjelang pukul dua siang, dan pergi mandi setelahnya.

Hannie berdiri di depan cermin berukuran besar yang ada di dalam kamar mandi. Air masih menetes dari rambutnya yang panjang, yang mengeluarkan aroma bunga menyenangkan. Dia memutar tubuhnya ke kanan dan kiri untuk melihat lebih jelas tampilan perutnya saat ini. Memang kehamilannya yang masih awal tidak terlalu terlihat jelas, tapi jika diperhatikan baik-baik, perut Hannie sudah tidak terlalu rata seperti dulu. Tangannya meraba dan mengelus perutnya sendiri. Di dalam perutnya, terdapat kehidupan yang harus dilindungi. Kehidupan yang masih amat sangat baru, yang harus dijaga serta dilindunginya dengan sangat hati-hati. Diluar keinginannya Hannie tersenyum, membayangkan sosok kecil bayi, ukurannya tidak lebih besar dari sebongkah roti, bayi laki-laki atau perempuan yang akan memiliki iris mata yang sama dengannya---berwarna cokelat terang. Atau mungkin, anaknya kelak akan memiliki mata seperti mata Sean? Berwarna hitam dan mengintimidasi siapapun... Akankah Sean menerima anak mereka saat Hannie mengatakan hal yang sebenarnya? Atau justru Sean akan memakinya, menolak, dan membenci Hannie karena sudah menjebaknya? Hannie tidak tahu, dan tidak ingin tahu. Dia tidak akan berkata jujur pada Sean. Dia akan membesarkan anaknya seorang diri. Penghasilannya lebih dari cukup untuk membiayai dirinya sendiri dan bayinya kelak. Lagipula, dia juga baru saja mendapat promosi jabatan. Sedikit banyak itu membantunya, rekening tabungannya setiap bulan semakin terisi dan dia akan menggunakan seluruh uang dalam rekeningnya untuk kebutuhan anaknya kelak.

Setelah puas berlama-lama memandang bayangannya sendiri di depan cermin, Hannie memakai pakaian terbaiknya, berulang kali memastikan bahwa baju terusan yang dia pilih akan menyembunyikan kehamilannya dengan sangat baik.

Sean sudah menghubunginya kembali tadi sore, berkata bahwa dia akan mengajak Hannie pergi makan malam di sebuah restoran sky dining yang ada di pusat kota. Restoran milik kerabatnya yang baru saja buka.

Tepat pukul setengah delapan bel berbunyi membuat Hannie tergopoh-gopoh mencapai pintu lalu membukanya. Wajah Sean yang lelah namun luar biasa tampan memenuhi pandangannya. Hannie bisa mencium aroma aftershave dari tubuh pria itu.

"Halo..."  Sean menyapa lebih dulu. Dia tersenyum simpul, menatap Hannie dari atas ke bawah dan ada kepuasan dalam ekspresi wajahnya.

Hannie membalas senyum serta sapaannya. Mereka berjalan ringan menuju mobil Sean yang diparkir di halaman depan, tanpa bergandengan tangan ataupun berusaha mencari topik obrolan.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Hannie memilih untuk melihat ke luar jendela. West Coast di malam hari sangat indah, terlebih saat musim gugur seperti itu. Kendaraan berlalu-lalang dan rumah minum buka lebih lama dari biasanya. Beberapa orang keluar dari dalam rumah minum yang ada di pinggir jalan, saling merangkul pundak temannya dan tertawa keras.

Mereka sampai di restoran sky dining yang paling besar dan mewah yang pernah dikunjungi oleh Hannie. Dengan sembunyi-sembunyi dia menundukkan kepala ke bawah, untuk memastikan pakaiannya tidak terlihat buruk saat mereka melangkah melewati pintu masuk restoran. Sean meraih lengannya membuat Hannie sedikit tersentak. Wanita itu mengangkat kepala, mengikuti dengan diam saat Sean mengajaknya masuk ke dalam.

Sean sudah memesan tempat. Tempat yang jauh lebih privasi daripada kursi lainnya, menghadap langsung ke pemandangan kota. Di tengah-tengah restoran terdapat kolam renang berukuran sedang, dan di sisi lain kolam terdapat panggung yang Hannie yakin sebagai tempat untuk para pemain musik dan penyanyi restoran.

Pelayan datang membawakan buku menu dan dua gelas minuman pembuka secara cuma-cuma, segelas air lemon yang sangat asam, membuat Hannie mengernyit karena keasamannya.

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang