Delapan

27 3 0
                                    

Tiga bulan berlalu sejak malam panas yang Hannie habiskan di rumah milik Covey Sean...



Emma dan beberapa tetangga sebelah rumah menyapa dengan bersemangat saat Hannie membuka pintu depan. Satu tangannya menenteng kantung plastik besar berwarna hitam berisi sampah-sampah, membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di depan rumah. Sambil tertawa Hannie menyapa Emma, menghampiri wanita tua itu.

"Bagaimama kabarmu? Aku tidak melihatmu selama beberapa waktu..."   Emma menggembungkan kedua pipinya, mengerucutkan bibir, dan bersungut-sungut kesal. Hannie yang berdiri di sebelahnya tertawa.

"Baik, tentu saja. Aku sakit beberapa hari kemarin. Bagaimana dengan kalian?"

Wanita bernama Rei yang berdiri di sisi Emma yang lainnya tersenyum. Dia mengangguk dan bertanya apa yang terjadi pada Hannie, mengatakan bahwa Emma tidak bisa berhenti khawatir memikirkannya. "Hannie yang malang.."  Rei tertawa di bawah tatapan kesal Emma.

Mereka berbincang selama beberapa waktu, mencoba kue pai daging buatan Emma yang baru saja matang, menyapa tukang sampah bernama Ern---seorang pria tua menyenangkan memakai kacamata botol dengan banyak kulit berkeriput dan lipatan yang menggantung di wajahnya.

Hannie melambai sambil melemparkan tawa pelannya yang terakhir saat dia berjalan menjauhi kerumunan. Tangannya meraih pintu depan, membukanya, dan menutupnya kembali. TV layar datar yang ada di ruang tamu masih menyala, menampilkan adegan pria dan wanita yang sedang mengobrol ringan di dalam mobil. Hannie sedang menonton serial drama favoritnya sebelum dia keluar untuk membuang sampah tadi.

Mencuci tangan, menghenyakkan diri di kursi berlengan depan TV, dengan malas Hannie meraih remot TV dan mengganti saluran dengan bosan. Dia menguap lebar-lebar.

Ponselnya berdering dengan cukup keras membuatnya terkejut. Sambil mengumpat dia meraih ponsel yang ternyata dia duduki di atas kursi, keningnya mengernyit untuk melihat nomor asing di layar ponselnya.

"Halo,"  Hannie menjawab panggilan setelah berhasil mengusir rasa penasarannya.

Hening beberapa saat sebelum suara yang sudah dihapalnya di luar kepala membalas sapaannya. "Hannie?"  Hannie menegang di atas kursi. "Ini aku, Sean... Covey Sean... kau mengingatku?"

Hannie mengangguk tanpa kata dan mengutuk kebodohannya sendiri. Sean tidak akan melihatnya, jadi dia menjawab dengan suara pelan, "ya..."

"Bagaimana kabarmu?"

Tidak baik... "Baik, tentu saja..."  Suaranya dibuat terdengar senormal dan semenyenangkan mungkin.

"Bagus.. aku senang mendengarnya..."  Hening kembali. Hannie menghitung dalam hati, tidak merasa perlu untuk memecahkan keheningan lebih dulu. Kemudian Sean kembali bicara, dengan nada berhati-hati. "Err... maaf baru menghubungimu. Aku sedang ada tugas di luar negeri, dan aku menghilangkan ponselku."  Hannie kembali mengangguk, tapi tidak mengucapkan apapun. "Aku menghubungimu dari nomor kantor. Aku akan pulang sebentar lagi. Bisakah kita bertemu?"

Seharusnya Hannie mengajukan pertanyaan seperti "kenapa? Kenapa ingin bertemu lagi setelah kau menghilang selama beberapa bulan sejak pernikahan Jihan?" atau "apa yang kau inginkan?" atau kalimat tanya yang lainnya yang mungkin bisa menjawab rasa penasaran Hannie yang memuncak. Tapi begitu bibirnya terbuka, hanya satu kata yang terucap dari mulutnya, "ya..."

Satu kata yang membuat Sean tersenyum puas dari seberang telepon sana meskipun Hannie tidak bisa melihatnya. Sean mengucapkan sampai jumpa sebelum memutus pembicaraan, membuat Hannie kembali mengutuk dirinya sendiri. Mengutuk kebodohannya sendiri.

Hannie meletakkan kembali ponselnya di atas kursi berlengan, setengah membantingnya, menatap kosong layar TV yang berwarna hitam dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bunyi jarum jam di dinding yang terus berdetak tanpa ampun menjadi musik pengiring untuk hatinya yang kesal.


Beberapa minggu lalu, kekhawatiran yang sempat Hannie rasakan saat dia bermalam di rumah Sean menjadi kenyataan. Siklus datang bulannya tidak pernah telat. Dan minggu kedua siklusnya terlambat, Hannie memaksakan diri untuk bangkit dari kasur dan pergi ke apotek. Dia membeli beberapa alat tes kehamilan, mulai dari harga yang termurah hingga yang paling mahal.

Hannie mengunci pintu kamar mandi dan membuka alat tes kehamilannya dengan tangan gemetar. Jantungnya bertalu-talu sehingga tidak mungkin rasanya detak jantungnya tidak didengar oleh tetangga sekitar. Dia mencoba, sambil berdoa di dalam hati, dan satu menit yang terasa seperti satu jam berikutnya, dua garis berwarna merah muda terpampang jelas di alat kecil yang ada dalam genggaman tangannya. Bukan hanya di satu alat tes, tapi di tiga alat semuanya menampilkan hasil yang sama : dua garis merah muda yang sangat jelas.

Hannie tidak percaya. Tidak. Itu pasti bohong. Alatnya pasti rusak. Dia akan mencoba kembali esok pagi, setelah dia bangun tidur. Alat tesnya masih tersisa satu, itu alat tes yang paling mahal, dia berharap naif bahwa alat yang lebih mahal biasanya bekerja dengan lebih akurat.

Keesokan paginya, saat Hannie terbangun pukul enam pagi, bergerak dengan langkah gontai masuk ke dalam kamar mandi, bertekad untuk mencoba kembali apa yang dia lakukan malam sebelumnya. Dengan tangan gemetar dan jantung yang berdetak jauh lebih keras dibandingkan sebelumnya, Hannie menunggu selama satu menit penuh, kedua kelopak matanya tertutup rapat, dan mulutnya membuka dan menutup dengan bibir gemetar.

Dengan sangat perlahan Hannie membuka kembali kedua mata dan dua garis merah yang jauh lebih jelas dari sebelumnya terlihat muncul di layar alat tes kehamilan di tangannya. Hannie melenguh. Rasanya seolah ada batu bata berukuran besar yang meluncur turun dari tenggorokannya, menuju perutnya. Perutnya luar biasa mual. Napasnya berubah menjadi pendek-pendek dan untuk sesaat dia lupa memikirkan hal-hal lain selain kehidupan yang ada di dalam perutnya kini.

Hannie mengandung. Dia mengandung anak dari seorang pria asing yang ditemuinya beberapa kali. Dia mengandung anak Covey Sean.

CRY FOR METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang