Marrying a Bad Boy (2)

9.1K 991 18
                                    

Aku menghela napas panjang saat acara hari ini akhirnya selesai juga. Kini tersisa keluarga inti saja yang ada di rumahku. Sanak-saudara dari pihak papa dan mama sudah berpamitan. Yang dari luar kota memilih menginap di hotel tempat pesta pernikahanku akan diadakan.

"Fa, makan dulu. Kamu belum makan apa-apa dari pagi."

Mami datang membawakan sepiring makanan. Aku mencebikkan bibir dan mami tersenyum geli menatapku. Meskipun mama sudah lama pergi, tapi sosok mami menjadi salah satu alasan aku untuk tidak merasa kesepian. Aku beruntung bertemu dengan Siya dan juga keluarganya yang sangat baik padaku. Bahkan mami selalu memperlakukanku seperti anak kandungnya sendiri.

"Mi, Siya mana?"

Mami menggeleng. Aku menatap tangannya yang memegang sendok, lalu menyuapiku makanan. Aku menerima begitu saja dan entah kenapa makanan itu terasa nikmat.

"Kamu tuh harus terbiasa tanpa Siya. Kalian sama-sama udah nikah. Punya kehidupan masing-masing. Mau sampai kapan kamu bergantung sama Siya?"

Aku tahu mami ingin yang terbaik untukku dan Siya. Sejak dulu dia tahu seperti apa aku yang selalu mengandalkan Siya dalam segala hal.

"Udah keenakan sama Siya. Kalau aja aku cowok, udah aku nikahin Siya."

"Kamu ini," Mami menjawil hidungku dan aku tertawa.

Dari jarak dudukku dan mami, bisa kurasakan seseorang tengah memperhatikanku dari jauh. Meski aku tidak menoleh padanya, tapi aku tahu siapa dia.

Fabian. Suamiku.

Sial. Menyebutnya sebagai suami saja rasanya sangatlah aneh. Bisa-bisanya aku menikah dengan laki-laki seperti Fabian. Laki-laki yang sejak dulu aku hindari karena sepak terjangnya bermain perempuan.

"Habis makan kamu langsung istirahat ya. Kamu butuh tenaga ekstra untuk pesta besok."

Aku mengangguk saja dengan perintah mami. Aku memang berniat untuk segera ke kamar dan tidur. Entah kenapa rasanya aku sangat merindukan kasur dan gulingku saat ini.

Aku makan dengan lahap dan mami berseru senang saat makanan di piring itu habis tak bersisa. Mami beranjak setelah memastikan aku minum dengan banyak. Setelah itu aku juga ikut beranjak. Aku tidak melihat Siya dan juga abangku. Sepertinya mereka sedang sibuk.

Papa juga tengah keasikan mengobrol dengan papi dan orangtua Fabian. Entah apa yang mereka bahas tapi sepertinya tidak jauh dari pekerjaan dan saham. Fabian juga ada di sana. Untuk beberapa saat kami saling menatap dan aku yang memilih untuk memutus pandangan lebih dulu.

Aku memasuki kamar dan segera membuka kebaya yang aku kenakan. Sungguh melegakan karena akhirnya bisa melepaskan diri dari sesaknya kebaya ini. Aku menghela napas panjang saat kini hanya tersisa celana dalam dan juga bra yang melekat di tubuhku.

Kepalaku menoleh dengan cepat saat mendengar pintu terbuka dan tertutup. Mataku membelalak dan aku spontan berjongkok untuk menutupi aset berharga milikku.

"Lo!" Aku tidak tahu harus mengatakan apa karena bingung juga.

"Papa yang nyuruh gue ke sini."

"Tapi bisa ketuk pintu dulu, kan?!"

Fabian menyeringai dan aku menatap kesal padanya.

"Udahlah. Gak usah malu sama gue. Gue masih ingat kok bentuknya."

Sialan. Aku meraih kebaya di lantai dan melemparnya dengan sekuat tenaga ke arah Fabian. Dia sungguh menyebalkan.

"Mesum lo!"

Kekehan geli keluar dari mulutnya dan aku memicing padanya.

"Tapi agak beda sih sekarang. Lebih... berisi."

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang