Prolog

182 38 16
                                    

Memaknai  kata perpisahan di usia yang seharusnya
masih menyecap indahnya hidup, terasa begitu berat.

...---...---...

Perasaannya digelayuti cemas sejak Pengurus panti_Bu Mamik biasa dipanggil anak panti begitu, membilang pada Areta agar segera menemui Ibu Linda_pendiri panti asuhan Lentera kasih.

ada apa lagi kali ini?

pikir Areta sepanjang melewati lorong kamar-kamar penghuni panti. Tak terhitung sudah kesekian berapa ia menghela nafas, meremas-remas jemari dengan gugup. Ia tahu, dipanggilnya ke ruangan Bu Linda bukan skenario baik, jika bukan karena masalah dengan anak panti lainnya yang suka mencari ribut dengannya, sudah jelas mengenai perihal adopsi. Areta hampir lupa soal Adopsi, sehingga ia tidak terlalu berharap mendapat orang tua asuh.

Tiba di depan pintu kayu berwarna coklat tua dengan ukiran bunga dan bentuk tak beraturan. Areta mengetuk pintu perlahan, terdengar sahutan sayup dari baliknya, menyuruh Areta untuk masuk. Pintu dibuka, ia melihat Bu linda menyambutnya dengan senyum tanggung.

"Silahkan duduk Areta," Bu linda menunjuk ke kursi di depan mejanya.

Areta ragu-ragu mendudukkan pantatnya ke kursi sofa bergaya lama itu. Ia mengedarkan pandangan ke wajah Bu Linda, mencoba menerka-nerka arti raut wajahnya, sebab saat ini Bu Linda tidak memperlihatkan ekspresi yang berarti. Tampak biasa saja, entah pula sengaja disembunyikan Bu Linda agar Areta tak khawatir.

Cukup lama wanita berbadan sedikit berisi dihadapannya hening, matanya intens melihat sebaris tulisan di kertas, menyentuh tangkai bagian tengah kacamatanya yang hampir melorot tanpa benar-benar merubah ekspresi wajahnya,  lalu menaikkan pandangannya ke Areta, dilepasnya senyum mencurigakan bagi Areta.

"kamu pasti bertanya-tanya, kenapa ibu memanggil kamu disini kan?"Areta mengangguk pelan, lehernya tiba-tiba menegang saat Bu Linda membuka mulutnya.

"begini Areta, ibu tidak ingin berbasa-basi, ibu akan katakan langsung saja kepada kamu, tapi kamu harus kuat mendengarnya."

seketika tengkuk Areta terasa panas, nafasnya tercekat, ia menelan ludah melalui tenggorokannya yang kering.

"mulai minggu depan, Kakak kamu Keenan akan segera diadopsi oleh keluarga pengusaha ternama," ucap Bu Linda dengan hati-hati.

Areta terhenyak, bola matanya membesar, seluruh tubuhnya ikut tegang.

"hanya kak Keenan? lalu bagaimana dengan saya bu?" tanya Areta.

"maafkan ibu tidak bisa membuat kalian diadopsi bersamaan, keluarga ini hanya ingin Keenan sebagai penerus perusahaan mereka kelak, mereka butuh anak laki-laki Areta."

cukup, penjelasan Bu Linda dirasa sudah menjawab pertanyaan Areta. Ia tahu, ada banyak orang tua asuh datang ke panti untuk mencari anak laki-laki, bagi mereka anak perempuan hanya akan menyusahkan dan tanggung jawab membesarkan anak perempuan jauh lebih besar.

"maafkan ibu Areta," kalimat terakhir Bu Linda tak berhasil membuat dirinya menerima kemungkinan bahwa ia harus berpisah dari kakak dan keluarga satu-satunya yang tersisa.

Areta buru-buru pamit, ia berlari kencang menuju kamar Keenan, berada di ujung bagian kamar para anak panti laki-laki. Didobrak kasar pintu kamar Keenan, sehingga mengagetkan kelima anak lain yang berada di kamar yang sama dengan Keenan, Areta tak peduli, ia tetap masuk. Keenan tak kaget, seolah ia sudah menunggu Areta untuk menemuinya.

"kalian bisa keluar sebentar ga? aku mau bicara dengan Bang Keenan."

Semua berhamburan tanpa banyak tanya, kini tinggal mereka berdua di kamar, di dalamnnya terdapat tiga tempat tidur tingkat dua dari kayu dan sisi lain ada lemari plastik warna-warni.

Akhir Sebuah Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang