Chapter 19

53 18 10
                                    

Kebohongan yang sengaja disembunyikan. Untuk sebuah kebahagian semu, bahkan nyaris abu-abu.

...---...---...

Areta kembali ke Giant Enterprise untuk melanjutkan pekerjaannya. Setelah pertemuan dengan Keenan, Areta menjadi tidak fokus bekerja, pikirannya selalu terbayang-bayang perkataan menyakitkan Keenan, abang yang paling dicintainya itu, telah berubah menjadi sosok lain yang berbeda.

Areta terus melakukan kesalahan saat bekerja, ketika Chef De partie menyuruhnya untuk mengambil telur, ia justru mengambil sayuran, lalu Areta membuat mie yang direbus menjadi hancur dan kesalahan-kesalahan lain yang dibuatnya. Membuat Chef David sangat marah, dapur menjadi berantakan karena kesalahan yang terus dilakukan oleh Areta, bahkan ia berulang kali memecahkan piring dan gelas.

"Areta, ada apa denganmu, jika kamu tidak bisa fokus keluarlah dari dapur, dan tenangkan dirimu. Kalau Kamu terus disini, dapur hanya akan semakin berantakan. Pergilah," teriak Chef Andra, meskipun ia selalu baik dengan Areta, namun ia tetap akan memarahi Areta jika berbuat kesahalahn fatal.

"ma-maafkan aku chef, maaf."

Areta meninggalkan dapur, matanya tampak sembab.

"ada apa dengannya, setelah pergi keluar makan siang, dia jadi seperti itu. Apa dia ada masalah, lalu siapa yang dia temui tadi?" tanya Chef Ryan penasaran.

"iya juga, aku jadi khawatir dengannya, sekarang masalah apa lagi yang dialaminya," ujar Rani cemas.

"apaan sih, cari muka banget, pura-pura kelihatan sedih, biar dikasihani," cibir Gisel.

Rani dan Merry kompak melirik tajam ke Gisel.

"mulutmu tuh nyinyir banget sih Sel. Kayak emak-emak tau ga," ejek Rayan.

"idih, yang gue bilang beneran kok."

"udah!! jangan pada ngerumpi, selesaikan kerjaan kalian, jangan pula kalian kayak Areta," Teriak Sous Chef. Mereka pun buru-buru melanjutkan pekerjaan masing-masing.

Seperti biasa, hanya Rooftop, tempat ternyaman bagi Areta untuk bisa menumpahkan segala perasaannya. Dadanya begitu sesak, nafasnya tersengal. Tangisnya pecah sejadi-jadinya, bahkan lebih kencang daripada saat ia dicampakkan oleh sahabatnya. Tentu saja, kali ini begitu menyakitkan untuknya. Keluarga yang tersisa, kakak laki-laki yang paling dicintai dan dihormatinya, mencampakkanya hanya karena alasan melindungi dirinya sediri.
Lantas, setelah ini, bagaimana bisa Areta menjalani hidupnya jika keluarga yang dimilikinya sekarang tidak menginginkannya. Areta memegangi dan menepuk-nepuk dadanya yang terasa perih.

Langit berubah mendung, seakan saksi kepedihan hati yang dideritanya. Ia bahkan berteriak histeris, tangannya mengepal keras, dadanya naik turun, air mata mengalir deras bersamaan dengan tetes hujan yang satu-satu jatuh dan perlahan tetesan itu berubah makin deras. Sementara Areta masih terduduk di lantai, dipeluk rinai hujan.

Tanpa sepengetahuan Areta, ternyata sedari tadi, Adnan tengah duduk di kursi yang menempel di dinding yang tidak jauh dari tempat Areta berdiri. Adnan hanya terdiam menyaksikan Areta, menumpahkan kesedihannya dibawah titik-titik air. Entah mengapa, ia pun merasakan kepedihan yang dialami Areta, tangis sesak itu seakan menjalar di relungnya.

"sebenarnya masalah apa lagi yang dialami Areta sehingga menangis seperti itu?"

Rasanya ingin sekali Adnan memeluk tubuh Areta dan menenangkannya, namun sepertinya tidak mungkin. Ia tidak ingin mengusik kesedihan Areta saat ini, mungkin akan lebih baik membiarkan amarah di dadanya dilampiaskan hingga membuatnya sedikit tenang.

Cukup lama Areta tenggelam pada kesenduannya, hampir 1 jam lebih dan Adnan juga masih berada di tempatnya. Dengan sisa tenaganya yang terkuras, Areta berdiri tertatih-tatih, berjalan menuju pagar Rooftop. Ia memegangi pagar sambil melihat ke sekeliling, rintik hujan masih terus membersamai dirinya.

Akhir Sebuah Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang