Bagiku, Rasa cinta tak perlu selalu diungkap.
cukup, aku membuktikan pada sikap.
....---...---...
Derap langkah kaki Adnan terdengar jelas dari sol sepatunya yang beradu dengan lantai lobby. Ia berjalan menuju lift, menekan tombol, sambil bersiul riang. Adnan sering datang lima belas menit dari jam masuk, agar tidak harus berjubel naik lift, contohnya sekarang, cuma dirinya yang menunggu di depan pintu elevator.
Ditengah menunggu, Adnan mengedarkan pandangan ke tempat lain, lalu matanya tertangkap pada Areta yang mendorong troli dengan membawa kotak tinggi, dirinya tenggelam dari balik kotak-kotak itu. Adnan mengulas senyum, anak itu selalu saja kutemui sedang bekerja keras.
Keterpakuan Adnan pada Areta teralihkan dengan dua kotak paling atas akan meorosot jatuh. Adnan sigap berlari dan menangkap kotak tersebut, beruntung berhasil jatuh ditangannya.
"oh... t-t-terima kasih," Suara Areta terdengar kaget, lalu wajahnya muncul dari balik kotak dihadapanya, Adnan sedikit terperanjat, sebelum akhirnya langsung disembunyikan dengan ekspresi datar. Entah mengapa, tiap kali melihat Areta kesusahan, ia selalu ingin membentunya. Seperti kali ini, Adnan harus merelakan bajunya jadi kotor untuk mengangkut dua kota sterofom besar berisi kerang dari aroma yang diciumnya.
walau harus berimbas bajuku bau dan kotor, aku harus membantu Areta. tidak mungkin dia membawa ini semua. Bisa-bisa kayak tadi, semuanya bisa jatuh berantakan, nanti dia pasti akan dimarahi.
"pa-pak Andan, s-s-sini pak biar saya yang bawa."
"kamu yakin bisa membawanya? kamu saja kesusahan tadi. sudah biar saya saja yang bantu bawa ke kafetaria."
"tapi pak, saya takut.."
"takut di marahin atasan atau dianggap tak sopan? udah jangan dipikirin, saya yang mau bawa, kamu ga usah takut," potong Adnan, lantas berjalan lebih dulu menuju lift sebelum Areta merayunya lebih lanjut untuk berhenti pada niatnya.
Di dalam elevator, Adnan bisa melihat raut wajah menggemaskan Areta yang tepantul dari dinding elevator yang dilapisi kaca. lantaran ketika cemas, Areta tanpa sadar mengigit bibirnya, lalu mengatupkannya sambil matanya berkedip-kedip. Adnan justru dalam diam, menarik senyum di sudut bibirnya
....---...---...
"Pak Ronald sudah memesan ruangan untuk makan siang bersama sebelum meeting pak," jelas sekretaris Adnan, mensejajarkan langkahnya dengannya.
Mendengar kalimat Sekretarisnya itu langkah Adnan terhenti, ia menoleh, berfikir beberapa lama sebelum akhirnya berujar, "kita ke kafetaria dulu."
Tiba di Kafetaria yang sudah ramai dengan karyawan lain, Adnan tersenyum cerah melihat Areta dibalik prasmanan.
"kita makan disini aja."
"tapi bagaimana dengan Pak Ronald?"
"katakan padanya, aku harus makan siang dengan keluarga."
"baik pak."
Adnan bergegas, mengambil nampan dan mulai memilah lauk yang ingin dimakannya, sambil tak hentinya curi pandang ke Areta. Adnan berdehem, mencari kata-kata yang tepat untuk menyapa Areta.
"kamu tidak makan siang?" tanya Adnan setelah berusaha membuka mulut. Sumpah, itu bentuk sapaan paling tidak relevan, bukannya mengucap selamat siang, Adnan justru memilih kalimat sapaan yang terlalu to the point. Padahal Adnan pun tahu, para chef hanya baru makan siang, setelah semua karyawan selesai makan siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Sebuah Kisah [END]
RomanceKehilangan adalah teman dekatnya, melekat layaknya mantra yang telah menyihir jalan hidupnya. Sebab Areta, gadis yang tumbuh besar di panti asuhan, telah tiga kali menerima garis takdir kehilangan orang yang dicintainya: orang tuanya yang meninggal...