Chapter 8

75 25 2
                                    

Ketakutan terbesarku, bahwa namaku

telah kau hempas dari rahim hatimu.

Lalu, kau pilih nama lain untuk dibuahi.

...---...---...

------------

"Areta!!!" Rani berseru, membuat telur bulat yang ingin dibelahnya, memental ke atas meja.

"kenapa sih Ran? ngagetin aja."

"lo jawab jujur pertanyaan gue ya? lo ada hubungan apa sebenarnya sama Pak Adnan?" tanya Rani antusias, serupa wajahnya yang terlihat cerah setelah mendengar gosip tentang Areta dan Adnan saat ia ke toilet.

Areta mendengus, ia sudah menduga, cepat atau lambat, gosip tak mendasar akan nyaring terdengar di seluruh Kantor.

"engga ada Ran, apapun yang kamu dengar, itu semua ga benar."

"yang bener? lo lagi ga pura-pura boong, biar ga ketahuan lagi dating sama Pak Adnan kan?"

Areta melempar tatapan tajam ke arah Rani, "beneran Ran, apa muka aku sekarang kayak orang yang lagi nyembunyiin sesuatu?"

Rani memperhatikan seksama wajah Areta, "iya sih, lo kan paling ga bisa bohong. trus kenapa lo bisa diantar sama Pak Adnan tadi pagi?"

"itu ga sengaja, aku lagi ga dapat angkutan ke kantor, bus yang aku naikin juga mogok. Pak Adnan ga sengaja lewat, trus dikasih tumpangan ke kantor."

"oh begitu toh," Rani manggut-manggut persis burung mematut dahan pohon.

"iya cuma begitu, engga lebih dari apapun, hubungan aku cuma sebagai bos dan karyawan. Lagian kan orang-orang juga tahu kalau Pak Adnan itu baik sama karyawannya."

"trus gue denger katanya pak Adnan ngingatin lo buat ganti baju karena basah, persis pacar yang perhatian."

"kalau itu tanya sama Pak Adnan deh kenapa dia bilang begitu," Areta jengah ditanyain terus-terusan, ia memilih bangkit dan beranjak ke dapur sembari tangannya membawa nampan bekas makannya. Pijak kakinya mendadak berhenti ketika Chef David memanggilnya, "Areta!! kamu sudah siap makan siang kan? ikut saya ke ruang Pak Adnan."

"hah? oh.. i-i-iya Chef," Areta mengikuti Chef David di belakang, meski tanda tanya besar menggantung di otaknya. 

...---...---...

Chef David mengetuk pintu ruangan Adnan, terdengar sahutan samar dari dalam ruangan, pintu dibuka memperlihatkan Adnan duduk di kursinya dengan raut wajah serius, memberi atensi pada lembaran berkas yang akan diberi tanda tangannya.

Adnan mengangkat kepalanya sebentar, lalu berujar, "duduklah, tunggu sebentar, aku akan mengurus beberapa berkas ini dulu," tangannya masih sibuk membubuhi berkas itu dengan tanda tangan. Memang cukup banyak, sehingga perlu waktu beberapa menit.

Chef David lebih dulu duduk di sofa putih di tengah ruangan Adnan, lantas Areta pun ikut duduk disamping Chef David sembari ia edarkan pandangan pada Adnan.

sebenarnya ada apa? kenapa aku harus ikut dipanggil menemui pak Adnan? apa ada terjadi sesuatu atau Chef David ingin melaporkan tentang kinerjaku selama ini?

Areta pindah melirik ke Chef David yang tampak reaksi datar di wajahnya, justru makin membuat Areta bingung.

"maaf sudah menunggu," Adnan berseru, bangkit dari duduknya dan beranjak ke sofa.

Akhir Sebuah Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang