Prolog

92 17 2
                                    

Ketiga remaja itu tertawa lepas sambil memandang cahaya matahari yang indah hampir tenggelam. Siapa bisa mengira tubuh-tubuh ringkih itu tengah sejenak melupakan hal paling sakit di hidupnya? Hasbi yang sejenak lupa dia tengah ada dalam kekangan depresi panjang, Azza yang tak ingat bahwa ia tengah dipeluk kematian, dan Albar yang sedang tak peduli, bahwa ia tak punya apa-apa di dunia ini.

Bagi saya, menyaksikan perjalanan mereka adalah bahagia dan sakit yang datang bersamaan. Tubuh tua ini bahkan tak pernah belajar sesuatu yang besar sebelum mengenal mereka. Hingga kadang saya berpikir, bagaimana mereka bisa bertahan dengan apa yang terjadi di hidupnya.

“Bu?” suami saya, Pak Hadi menyapa.

Saya menoleh ke arahnya. Mengurungkan maksud untuk masuk ke ruangan Nak Azza yang di balkonnya dia sedang tertawa bersama Hasbi dan Albar. Sementara pintu masih sedikit terbuka, saya mengisyaratkan agar bapak tidak berisik. “Jangan keras-keras Pak,” ujar saya.

“Kenapa mengendap-endap?” tanya suami saya.

“Hanya memperhatikan mereka sebelum antar makanan Pak. Sudah selesai cuci mobil?” tanya saya memperhatikan lengan tangannya yang sedikit basah.

Bapak mengangguk. Saya terdiam menahan air mata. “Apa bapak pernah merasa, bahwa melihat mereka tumbuh, rasanya hati ini bahagia dan sedih secara bersamaan?” Saya tersenyum berpura-pura kuat.

Bapak memegang pundak saya lembut. “Bapak tidak bicara bukan berarti bapak tidak merasa, Bu. Kita semua merasakan hal yang sama. Kita bahagia dan sedih bersama-sama.” Bapak memeluk saya. Meredam tangisan wanita tua ini agar tak terdengar Azza, Hasbi dan Albar.

“Ibu takut Azza pergi. Hari ini, dokter bilang kalau kita harus siap jika suatu hari nanti Azza harus benar-benar transplantasi ginjal. Ibu semakin takut melihat Azza tertawa. Ibu tahu, Azza hanya berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, Pak.” Saya tak bisa menahan tangis. Bagi saya, Azza bukan hanya anak dari seorang majikan. Dia adalah putri saya. Dia kesayangan saya. Dia adalah anugerah lain yang Allah berikan sebagai pengganti anak kandung yang Dia ambil dari saya.

“Bapak tahu? Azza satu-satunya alasan Hasbi dan Albar bertahan. Kalau Azza pergi, bagaimana dengan mereka Pak? Ibu takut.”

Bapak menghela napas. Saya tahu, sekuat apapun Bapak, dia tetap manusia yang bisa merasa sedih. Saya faham betul. Diamnya adalah rasa sakit yang tidak terbahasakan. “Tenangkan diri, Bu. Serahkan semua pada yang Maha Segalanya. Kita doakan mereka,” ujar Bapak menenangkan. “Sudah, lebih baik kita temani mereka.”

Saya mengangguk. Kami masuk ke dalam ruangan dengan menyeka air mata dan tersenyum menyapa. Ketiga anak itu menoleh dan dengan riang meminta kami cepat bergabung.

Bahkan untuk kami yang hanya seorang pembantu dan sopir tua, menyaksikan mereka tumbuh dan berjuang adalah pelajaran besar yang tiada duanya.

Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang