6. Di Waktu yang Tepat

17 11 1
                                    

Albar tersenyum menerima uang kembalian recehan yang diberikan sopir angkot langganannya. Setelah tiba tepat di gang kecil menuju rumahnya, Albar menghela napas lega sambil tersenyum simpul. Dia memeriksa ulang beberapa lembaran uang di saku celana seragam sekolahnya sambil membayangkan bagaimana ekspresi bangga ibunya saat tahu Albar akan membantunya membayar hutang walau hanya sedikit.

Dia segera berjalan menuju rumahnya dengan hati riang. Albar menyapa beberapa orang yang berpapasan dengannya. Wajahnya sumringah meski badannya tidak bisa berbohong dan cukup lelah. Sudah satu minggu Albar mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang dia lakukan sepulang sekolah tanpa Ibunya tahu.

“Bu? Albar pu ..” ucapannya terpotong saat menyaksikan peristiwa di dalam rumahnya. Albar melihat dengan jelas Ibunya tengah tertunduk dimarahi seorang wanita yang memakai banyak gelang emas dan kalung-kalung di lehernya. Albar tahu betul, dia rentenir yang terkenal kasar di daerahnya.

“Ada apa ini?” tanya Albar menyela. Dia segera menghampiri ibunya yang tengah mengusap-usap air mata.

“Nah, ibu kamu! Dia pinjam uang sama saya, janji cuma dua minggu. Sampai sekarang, udah delapan minggu belum bayar juga. Jadi sesuai perjanjian, kembalikan sekarang dengan bunga nya!” Wanita itu menjelaskan dengan nada tinggi.

Albar terdiam sambil memandangi Ibunya marah. Sebelumnya mereka pernah berjanji, sesulit apapun, tidak akan pernah meminjam uang pada seorang rentenir. “Bu? Ini bohong kan?” tanya Albar meminta penjelasan.

Ibu Albar mengangkat kepala dan menatap Albar seolah merasa bersalah. Dia menggenggam tangan Albar. “Maafkan ibu,” ucap Ibu Albar.

Albar melepaskan tangan ibunya dan menghela napas panjang. Ibunya telah melanggar perjanjian mereka.

“Ayo cepet, bayar sekarang!” wanita itu membentak memecahkan suasana.

“Berapa?” tanya Albar.

“Hutang sama bunga nya jadi 350.000,” ucap wanita itu ketus.

Albar yang mendengarnya beralih menatap ibunya. Kenapa keadaannya selalu diluar kendali? Albar rela membantu ibunya membayar hutang sedikit demi sedikit. Tapi tak rela jika ternyata ibunya berhutang pada seorang rentenir, dan melanggar perjanjian mereka.

“Ayo bayar!” bentak wanita itu sambil mendorong pundak Albar membuatnya tersentak kaget.

Albar menghela napas panjang. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan. Melihat apa yang Albar lakukan, ibunya segera menarik tangan Albar.

“Jangan, jangan Albar. Ibu yang akan lunasi. Jangan pakai uang kamu,” cegahnya sambil mencengkeram tangan Albar.

“Kalau gak pakai uang Albar sekarang, mau bayar kapan Bu? Ibu ada uang?” tanya Albar dengan nada geram. Dia tak menghiraukan Ibunya dan lekas menghitung lembaran uangnya.

Sesaat sebelum Albar menyodorkan uangnya, Ibu Albar menarik dan mendorong tubuh Albar hingga terjatuh. “Ibu bilang jangan, ya jangan, Albar! Nurut sama Ibu!” bentaknya tak terkendali.

Albar tersentak kaget melihat ibunya yang semarah itu. Bukankah seharusnya dia yang marah di situasi ini? “Yaudah kalau begitu Ibu bayar! Bukannya sebelumnya ibu janji sama Albar gak akan pinjam uang sama rentenir?” balas Albar tak kalah marahnya.

Ibunya menggelengkan kepala sambil mengusap air mata. Dia beralih menatap wanita rentenir itu yang sejak tadi menyaksikan pertengkarannya. “Bu, saya janji. Dua hari lagi saya ganti. Saya antar ke rumah Ibu. Tolong ya Bu,” pinta Ibu Albar.

Wanita itu berkacak pinggang. “Haduh, Bu Neti, Bu Neti. Gimana sih? Itu anaknya mau bayar kok dilarang. Malah minta tambahan waktu. Saya muak Bu. Kalau ibu mau minta dua hari lagi, saya tambah bunga nya,” bentak wanita rentenir itu.

Albar yang menyaksikannya semakin geram. Dia lantas dengan cepat memberikan uang-uangnya langsung ke tangan wanita rentenir itu dan sedikit menyeretnya keluar rumah. “Sudah, lunas! Silahkan pergi. Terima kasih bantuannya,” pungkas Albar sambil segera menutup pintu.

“Albar!” Ibu Albar berteriak histeris.

Albar yang masih memegang gagang pintu beralih menatap ibunya yang berlinang air mata penuh amarah. “Kenapa sih Bu? Albar mau bantu Ibu. Albar mau nyelesain satu persatu hutang ibu. Kenapa respon ibu kayak gini?” tanya Albar meminta penjelasan atas sikap ibunya yang baginya sangat tidak masuk akal.

“Ibu gak mau pakai uang kamu, Albar! Ibu akan usahakan semuanya sendiri!” bentaknya lagi sambil memukul-mukul dada. “Tolong, jangan pernah bantu ibu bayarin hutang-hutang bapakmu ini. Ibu gak mau. Ibu gak mau kamu sengsara, Albar, ibu gak mau!”

Albar terdiam menahan air matanya. Di relung hatinya dia tahu, ibunya hanya tidak ingin Albar merasakan beban berat yang ditanggungnya. Tapi caranya salah.

“Ibu pikir dengan Albar gak bantu bayarin hutang ibu, Albar bisa bahagia? Ibu pikir dengan Albar diam aja sambil lihat ibu ditagih, dimaki-maki kayak gitu, Albar bisa seneng? Gimana sih jalan pikiran ibu?” Albar kehilangan kendali dan meluapkan semuanya dengan nada tinggi.

Ibu Albar terduduk di kursi lusuh rumahnya sambil terisak sesenggukan. Dia tak berani menatap mata Albar yang dipenuhi amarah tak tertahan.

“Albar pengen bantu ibu apa salah?”

“Salah! Kamu salah dengan gak nurut sama Ibu. Ibu bilang jangan pakai uang kamu! Jangan pedulikan ibu! Jangan bayarin hutang ibu! Sekolah aja yang bener!” pungkasnya.

Albar terdiam kehabisan kata. Dia menggelengkan kepalanya menyaksikan sikap ibunya yang tidak masuk akal baginya. “Kalau ibu pengen Albar bahagia, biarin Albar bantu Ibu. Semakin cepat kita lunasin semua hutang-hutang ini, semakin cepat kehidupan kita membaik. Ibu pikir Albar bisa diam aja lihat kondisi ibu, terus bahagia sendirian? Nggak bu. Albar tersiksa,” jelas Albar kini dengan nada melemah. “Albar capek. Albar gak ngerti jalan pikiran Ibu. Pikiran Ibu itu makin bikin hidup ibu sulit, tahu gak Bu?” tanya Albar membuat ibunya tertegun.

Suasana sejenak hening. Albar menatap ibunya yang diam tak menjawab semua perkataannya. Dia lantas pergi meninggalkan rumah dengan perasaan tak karuan. Dia butuh rumah yang lain.

••

Albar menatap kosong jalanan ramai di depannya. Memperhatikan kendaraan berlalu lalang, dan sesekali memperhatikan ekspresi-ekspresi wajah pejalan kaki.

“Sedih juga butuh tenaga, apalagi sampai nangis,” ucap seseorang tiba-tiba sambil menyodorkan sebuah roti dan air minum ke hadapan Albar.

Albar yang menatap kaget refleks menjauh. Dia baru sadar, seseorang di depannya bukanlah orang asing. “Azza? Kamu ngapain di sini?” tanyanya tak percaya dengan apa yang dia lihat.

Azza menyimpan roti dan air minum yang belum di terima itu di pangkuan Albar. “Bukannya lebih cocok kalau Azza yang tanya itu sama kak Albar ya?” tanya Azza.
Albar gelagapan. Dia menerima makanan dari Azza dengan canggung.

“Kak, hidup di dunia itu banyak gak enaknya. Tapi kalau makanan masih banyak yang enak kok,” ucap Azza sambil tersenyum. “Azza sudah lihat kak Albar dari sepuluh menit lalu. Azza bahkan bisa hitung berapa kali kak Albar menghela napas berat dan panjang. Azza tahu kak Albar lagi ada masalah. Tapi bisa tolong di makan dulu?” bujuk Azza lembut.

Albar hanya terdiam lalu tersenyum kecil dan mengangguk. Dia lantas membuka kemasan roti itu dan memakannya. “Makasih Za,” ucap Albar.

“Cuma roti kok,” balas Azza.

“Terima kasih udah datang di waktu yang tepat,” pungkas Albar tersenyum menatap Azza dalam. Jika selama ini Albar seringkali mencari alasan kenapa dia harus bertahan, maka malam ini dia menemukan jawabannya. Azza.

Di malam itu, Albar menemukan sebuah rumah baru. Tempat dia bisa bercerita tanpa ragu untuk menangis dan tertawa. Kisahnya yang selama ini dia pendam sendirian, akhirnya menemukan muara luas yang siap menampungnya.

__________

Halo Assalamu'alaikum readers! 💐

Peluk jauh untuk Albar, dan peluk hangat untuk kita semua. Semoga suka sama ceritanya ya. 🤍

Yuk ikutin terus kisah mereka dan bantu dukung aku dengan follow, vote, komen dan share. Kamu juga bisa mampir ke akun media sosial aku ya :

Instagram : @alfattah.studio
TikTok : @alfattah.studio

Terima kasih banyak, see you next chapter 💐🤍

Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang